Laman

BINTANG UTAMA COMUNITI


Kudeta Di Pagaruyung (1514- 1524), Peristiwa Tragis Yang Terlupakan


Penyerbuan Dewang Parakrama
Dari pihak dalam negeri, ketidaksenangan terhadap pemerintahan Maharaja Dewana dan Raja Bagewang, ditimbulkan oleh Dewang Palokamo Pamowano (Dewang Parakrama Parmawana) atau Dewang Parakrama. Pangeran ini seorang dari Wangsa Malayupura yang tinggal di Darmasyraya. Jika di Pagaruyung para Pangeran (Puto-Puto) dan raja-raja dari Wangsa Melayupura telah menjadi pemeluk agama Islam yang taat sejak Daulat Yang Dipertuan Maharaja Sakti I, maka Dewang Parakrama masih menganut agama Budha Mahayana dari Tarikat Tantrayana. Sebagian keterangan tradisi mengatakan bahwa sebenarnya Pangeran ini tidak memeluk agama alias Pagan. Pangeran ini dari pihak kakek dan neneknya (dari belahan ayah maupun belahan ibu) sudah berada di kawasan sekitar Ulu Tebo. Kakeknya (ayah dari ayahandanya) menjadi Raja Ulu Tebo yang kemudian diganti ayahandanya. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama menggantikan.
Dewang Parakrama tidak pernah bersetia kepada Raja Ranah Sekelawi sebagai atasan yang ditunjuk Pagaruyung. Sebaliknya raja ini juga tidak menyatakan diri di bawah Raja Tebo yang merupakan wilayah bawahan Raja Jambi. Raja ini menyatakan dirinya sebagai raja merdeka, dan berdaulat sendiri. Untuk menunjukkan kemerdekaan dan kedaulatannya, raja ini memaklumkan dirinya sebagai Maharaja Swarnabhumi yang sah dengan menduduki Siguntur di Darmasyraya. Hal itu di mungkinkan karena sebelumnya dengan diam-diam Raja Pamowano (Dewang Parakarma) mengadakan perjanjian persaudaraan dengan Portugis, orang Rupik Sipa tokah dari Tanah Alang Buwana. Portugis berhasil merebut Malaka 1511 M, dan ini dijadikan sebagai batu loncatan untuk kemudian dengan memperalat kaki tangannya (Raja Pamowano) menguasai Sumatera, dengan mencoba merebut Pagaruyung. Emas berbungkal diserahkan/dijual raja ini kepada orang Rupik sebagai imbalannya.
Dengan demikian semua kawasan Darmasyraya (Tiga Laras) dapat ditundukkannya. Dari Darmasyraya, Dewang Parakrama memasuki kawasan Jambi. Pasukan Jambi memeberikan perlawanan. Pertempuran dahsyat dengan pasukan Jambi berlangsung dengan hebatnya di Tebo. Pasukan Jambi kewalahan, kemudian mundur dan kawasan kuala sungai Tembesi yang direbut oleh Dewang Parakrama. Tetapi kemudian kembali balik menyerang Tebo. Pasukan Dewang Parakrama dapat di pukul mundur ke hulu sungai Tembesi. Namun kawasan hulu Tembesi bahkan bebe rapa kawasan di Kerinci dapat direbutnya. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama kembali ke Darmasyraya, dan dari sini sebuah pasukan besar disiapkan. Dengan pasukan besar ini Dewang Parakrama memasuki Luak Tanah Datar.
Pada tahun kl. 1514, melalui sebuah pertempuran besar, Pagaruyung khususnya dan Luhak Tanah Datar umumnya jatuh ke tangan Dewang Parakrama. Maharaja De wana dan keluarga istana lainnya cerai berai akibat penyerbuan Dewang Parakrama yang dengan tiba-tiba sudah sampai saja ke istana. Maharaja Dewana sempat lolos dan menyingkir dengan dikawal sepasukan bersenjata ke Lipat Kain dan di Kampar Kiri Sedangkan permaisuri yakni Dewi Ranggowani, bersama Puti Reno Bulian (putri baginda), sudah diselamatkan terlebih dahulu ke Koto Anau Kubuang Tigo baleh. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama menjadi raja di Pagaruyung dan dike nal dengan nama Maharajo Palokamo atau Maharaja Parakrama.
Pemerintahan Maharaja Parakrama (1514- 1524)
Maharaja Parakrama, hanya menguasai Luak Tanah Datar bagian utara dan ti mur, disamping kawasan Darmasyraya. Maharaja ini dengan segera membuka hu bungan resmi dengan Portugis di Melaka. Sebuah delegasi dipimpin oleh tiga orang pemuka kerajaan dikirim ke Melaka. Ketiganya adalah pemimpin-pemimpin penga nut Sekte Tantrayana agama Budha Mahayana. Karena Sekte Tantrayana merupakan sekte yang mengandalkan diri lewat mantra-mantra, karena itu dianggap penganutnya pemeluk kepercayaan animisme (Pagan) oleh Portugis. Sehingga pihak Portugis mencatat Minangkabau penduduknya pada saat itu tidak beragama, karena ketiga utusan yang datang ke Malaka menemui pimpinan Portugis itu penganut keperca yaan yang masih pagan (animisme). Tambo mengisyaratkan tentang raja ini , bahwa “agama orang Makah tak disukainya, agama lamapun malas memakai.”
Sebuah berita Portugis berasal dari penulis Jorge de Brito pada pertengahan abad ke-16 menceritakan: bahwa utusan yang dipertuan Minangkabau yang berkun jung ke Bandar Malaka masih “pagan”. Berita itu kiranya dapat dijadikan petunjuk, bahwa hingga pertengahan abad ke-16 agama Islam belum lagi berkembang di Alam Minangkabau, sekurang-kurangnya yang dipertuan Minangkabau dan anggota keluarga terdekatnya belum lagi menganut agama itu. (INI CERITA PORTUGIS).
Dari berita ini banyak pakar, penulis sejarah kita ikut menerima begitu saja bah wa Minangkabau pada abad ke 16 belum Islam. Pada hal Islam telah masuk ke Minangkabau dalam beberapa tahap perkembangannya sejak dari abad ke 7-8 M dengan masuknya komunitas Arab di Pesisir Barat Sumatera Barat (baca Hamka) kemudian pada abad ke 12 -13 M (naik dari Indrapura ke Pariangan) dan di awal abad ke 15 M sejak Yang Dipertuan Raja Nan Sakti I di Bukit Batu Patah murid Syaikh Maghribi, dan ayah kandung Daulat Yang Dipertuan Puteri Panjang Rambut II (Bundo Kandung-Mande Rubiah). Sampai kepada puncak kesempurnaan dan meratanya Islam di Minangkabau di zaman Syaikh Burhanuddin Ulakan Pariaman.
Hal ini juga terlihat dari sikap dan tindakan Maharaja Parakrama yang bertindak keras terhadap peniaga-peniaga beragama Islam. Ialah dengan cara melarang dari kalangan peniaga itu berdagang ke wilayah kerajaan .Yang dibenarkan hanyalah peniaga-peniaga beragama Budha Mahayana ataupun Hindu. Begitu juga peniaga-peniaga Minangkabau yang berada di luar negeri tetapi sudah memeluk Islam, dila rang datang berkunjung ke kampung halaman, apa lagi untuk berniaga. Sementara itu peniaga-peniaga dari kalangan bangsa Portugis pergi ke pelabuhan-pelabuhan utama wilayah timur untuk membeli emas dan membawanya ke Melaka. Penduduk yang beragama Islam ditindas, dan agama Budha Mahayana dari tarikat Tantrayana disebar luaskan kembali. Pendeta-pendeta utama berada di sekeliling baginda di Istana Pagaruyung.
Sementara itu kawasan pantai barat dicoba untuk direbut. Tetapi pada mulanya gagal. Barulah setelah mengerahkan jumlah pasukan yang cukup besar, beberapa kawasan di sepanjang pantai barat Minangkabau akhirnya jatuh ke tangan kekuasaan Maharaja Parakrama. Namun tak lama, kemudian lepas lagi. Berlainan dengan raja-raja sebelumnya, perniagaan emas dilakukan oleh orang-orang kerajaan dan men jualnya langsung ke tangan peniaga-peniaga asing yang datang ke pelabuhan pelabuhan dan pasar pasar pengekspor di wilayah timur. Semua keuntungan dan cukai diserahkan kepada Maharaja Parakrama untuk kepentingan kerajaan.
Luhak Limapuluh yang berhubungan rapat dengan kawasan timur, sejauh ini menjadi penghalang dari perniagaan yang diatur baginda. Maka Maharaja Parakrama mengerahkan tentaranya ke Luhak Limapuluh. Setelah bertempur mati-matian akhirnya Luhak Limapuluh pun jatuh ke tangan Pagaruyung. Suatu pertempuran di Mungka terjadi, dan pasukan Pagaruyung (pasukan Maharaja Parakrama) mencapai kemenangan. Mulai saat itu, kawasan rantau timur (termasuk Darmasyraya), Luhak Limapuluh dan bagian timur serta utara Luak Tanah Datar berada dibawah kekuasaan Maharaja Parakrama yang berkedudukan di Pagaruyung. Sedangkan kawasan Luhak Agam, kawasan Kubuang Tigobaleh (bagian selatan Luak Tanah Datar) dan wilayah rantau barat tidak berhasil direbut Pagaruyung (Maharaja Parakrama). Wilayah yang tak dapat dikuasai itu, tetap mengakui Maharaja Dewana sebagai Maharaja Suwarnabhumi – Minangkabau yang waktu itu mengungsi ke Koto Anau.
Perang Melawan Maharaja Parakrama
Untuk beberapa lama, seperti terjadi penghentian permusuhan Maharaja Parakrama berdaulat di wilayah kekuasaannya sedangkan Maharaja Dewana diakui untuk wilayah-wilayah yang masih setia kepadanya. Yang menunjukkan permusuhan di antara kedua belah pihak, ialah para pemimpin utama kerajaan ada yang pindah ke Luak Agam dan ada yang pindah ke Kubung Tigabelas. Datuk Nan Baranam di Istana Gudam beserta keluarga kerajaan dan Datuak Nan Batujuah di Istana Balai Janggo meninggalkan Pagaruyung. Yang mendampingi Maharaja Parakrama, di istana Balai Gudam benar-benar orang yang ditunjuk oleh Maharaja Parakrama. Seterusnya tidak diperkenankan siapapun dari Luak Agam, Rantau Mudik (Rantau Barat) dan Kubung Tigabelas memasuki wilayah yang dikuasai Maharaja Parakrama. Keadaan seperti api di dalam sekam.
Suatu gejolak timbul, dikarenakan pasukan bawahan Maharaja Parakrama me masuki wilayah Kubung Tigabelas. Ialah pasukan dari Maharaja itu yang ditempatkan di Saningbakar. Maka para pemuka Kubung Tigabelas melakukan perundingan di Supayang. Kemudian menghubungi Luak Agam. Akhirnya datanglah pihak Luak Agam. Kesepakatan kedua belah pihak ialah melakukan pembebasan Pagaruyung. Dengan segera baik di Luak Agam maupun di Kubung Tiga belas disusun pasukan yang kuat, untuk membebaskan Pagaruyung. Kedua pasukan dengan segera melaku kan penyerangan ke bagian utara Luak Tanah Datar.
Pertempuran yang berkobar tahun kl. 1524 ialah tahun ke-10 (sepuluh) pemerintahan Maharaja Parakrama, berkecamuk di Tanah Datar. Dalam pertempuran dah syat yang memakan waktu berhari-hari, akhirnya pasukan Maharaja Parakrama mun dur ke Darmasyraya. Tetapi pasukan inipun dapat diusir dari kawasan ini dan dikejar ke hilir Batang Hari. Setelah dihubungi Kerajaan Jambi, pasukan Jambi pun memu diki sungai sehingga pasukan Maharaja Parakrama terjepit.
Maharaja Parakrama sendiri menyingkir ke Jambi, tetapi dikejar oleh pasukan Jambi yang dipimpin oleh Panglima Kilangan Besi. Maharaja Parakrama membawa pasukannya ke Kerinci. Tetapi di Kerinci, baginda ini tertangkap dan dibawa ke Jambi. Di Jambi, Maharaja Parakrama diadili sebagai penjahat dan dijatuhi hukuman mati. Maharaja Parakrama dihukum mati atas titah Raja Jambi Rangkayo Hitam, sekaligus hukuman mati itu menandai mulainya kedamaian, baik bagi masyarakat Jambi sendiri maupun bagi masyarakat Kemaharajaan Swarnabhumi Pagaruyung.
Maharaja Dewana Kembali Bertakhta dan Portugis Menyerbu.
Pada tahun kl. 1525 Maharaja Dewana kembali bertakhta. Permaisuri dan putra-putra baginda dijemput ke Koto Anau, dan kembali berdiam di istana Melayu Kampung Dalam di Gudam Pagaruyung. Namun begitu baginda kembali bertakhta, Portugis mengirim ekpedisi militernya untuk merebut tambang emas di kawasan wilayah barat. Pasukan Portugis mendarat di Pasaman, di Pariaman, di Muara Pesisir (Rantau Empat Lurah), di Carocok Gaduang Intan, Sungai Nyalo, Salido dan di Indrapura. Pertempuran-pertempuran dahsyat terjadi. Portugis mengerahkan bajak laut berbangsa Cina dan India (Sipahi) untuk membantunya. Beberapa kerajaan kecil seperti Taluak Sinyalai Tambang Papan, Sungai Nyalo, Taluak Lelo Jati, Palinggam Jati di sepanjang pantai barat tenggelam karena aksi bumi hangus dan bumi angkat Portugis. Walaupun beberapa kerajaan kecil itu mulanya berupaya melawan namun sia-sia belaka.
Pemerintahan Pagaruyung mengirim pasukan tempur ke pesisir barat dan berhasil menghalau Portugis dari wilayah Pasaman. Berbarengan dengan itu, pihak Portugis juga satu demi satu meninggalkan pos-pos mereka di sepanjang pantai barat. Maharaja Dewana berusaha untuk membangun kembali kemaharajaan Suwarnabhumi. Namun pada waktu itu Aceh muncul di ujung utara pulau Sumatera. Atau tepatnya di ujung barat laut dari pulau yang memanjang ke tenggara. Maharaja Dewana tidak memandang kehadiran Aceh sebagai saingan, apalagi musuh, tetapi diterima sebagai negara sahabat. Banyak dari kalangan warga Kemaharajaan Swarnabhumi Pagaruyung (orang Minangkabau) yang pergi ke Aceh dalam rangka memperdalam ilmu agama Islam, disamping berniaga. Seperti diketahui juga, Aceh pada zaman itu merupakan serambi Mekah untuk tujuan melanjutkan perjalanan ke tanah suci. Walaupun sebagian ada yang mengambil jalan darat lewat Malaysia, Birma, India dan seterusnya menuju Jazirah Arab. Hubungan itu semakin erat dengan diambilnya adinda Sultan Aceh yang dikenal dengan nama Putri Keumala sebagai permaisuri Maharaja Dewana.
Perkawinan berlangsung dan pesta besar dilangsungkan di Aceh dan Pagaruyung. Di Aceh, Maharaja Dewana membagi-bagikan emas kepada para pembesar dan pemuka Aceh, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling bawah sepanjang yang hadir pada pesta perkawinan. Karena emas yang cukup banyak dibawa dari Pagaruyung habis, maka Maharaja Dewana meminjam kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh, dengan janji begitu sampai di Pagaruyung, akan dikirim petugas khusus untuk mengantarkannya. Tetapi sesampai di Pagaruyung, bagindapun mengadakan pesta perkawinan yang lebih besar dan setiap pembesar yang hadir ditambah dengan tamu-tamu kerajaan diberi hadiah emas. Pengeluaran baginda baik ketika di Aceh maupun ketika di Pagaruyung menimbulkan kebangkrutan kerajaan.
Putri Keumala langsung ke Pagaruyung setelah pesta pernikahan di Aceh. Sebelum sampai baginda dan sang putri ke Pagaruyung, terlebih dahulu Dewi Ranggowani sang permaisuri, (istri I) meninggalkan Pagaruyung dan kembali ke Koto Anau. Juga ikut serta Putri Reno Bulian, yakni putri baginda dan sang Dewi. Maharaja Dewana menjadi marah, bahkan mengumumkan bahwa mulai saat kedatangan baginda dari Aceh, Dewi Ranggowani hanyalah seorang istri biasa bagi baginda. Sedangkan sebagai raja puteri (permaisuri) digantikan oleh Putri Keumala dengan nama Putri Reno Kumalo (Putri Ratna Kumala). Baginda juga membuat keputusan-keputusan tanpa bersidang dulu dengan Besar Empat Balai. Akibatnya, Besar Empat Balai menyatakan non-aktif dan tidak akan turut campur soal kerajaan. Sejak itu Maharaja Dewana mengendalikan kerajaan sendirian. Bersamaan dengan itu Kubung Tigabelas kembali kepada kehadirannya semula untuk tidak tunduk kepada pemerintahan kerajaan. Tindakan Kubung Tigabelas itu disusul oleh Tanjung Sungayang.
Penyerbuan Aceh
Hutang Maharaja Dewana kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh ditagih oleh Bendahara yang memegang kepemimpinan Baitul Mal itu kepada baginda. Tagihan itu melalui surat yang ditujukan kepada Putri Ratna Kemala. Tagihan pertama setelah baginda setahun selepas pernikahan. Namun baginda menjanjikan akan membawa kepada sidang Besar Empat Balai untuk dapat ditanggulangi atau dicarikan jalan keluarnya sehingga hutang terbayar. Besar Empat Balai tidak satupun memenuhi panggilan bersidang dari baginda. Tiga bulan berselang hutang itu tidak ditagih lagi.
Namun setelah tiga bulan itu, datang kembali tagihan untuk kedua kalinya. Maharaja amat gusar, karena harta benda yang ada di Pagaruyung tidak ada yang berarti untuk pembayarnya. Namun baginda membalas langsung ke Aceh dengan janji agar pengurus Baitul Mal bersabar. Dan baginda akan membayar dengan segera, begitu pungutan yang dilakukan dari pelabuhan-pelabuhan yang ada terlaksana. Baitul Mal kemudian masih memberi kesempatan kepada baginda dan tiga bulan lagi pun berlalu.
Kali ini Baitul Mal kembali mengirim surat tagihan yang juga dialamatkan ke pada Putri Kemala. Sang Putri merasa malu dan mengutarakan langsung kepada baginda. Tetapi Maharaja Dewana marah, dan menganggap sang putri terlalu membesar-besarkan persoalan. Pertengkaran mencapai puncaknya, ketika Maharaja mengusir sang putri. Putri Kemala bersedia berangkat meninggalkan Pagaruyung jika diceraikan langsung oleh baginda. Karena marahnya, maka bagindapun menceraikan sang permaisuri. Putri Kemala setelah bermalam di rumah seorang teman sejawat, dengan beberapa pengiring yakni dayang-dayang yang dibawa dari Aceh, meninggalkan Pagaruyung dan sampai di Koto Gadang Luak Agam. Di Koto Gadang, sang putri berdiam untuk sementara dan mengajar para gadis bertenun, menerawang dan menyulam.
Utusan yang dikirim Maharaja Dewana yang membawa pesan baginda agar sang putri kembali datang berkali-kali, namun ditolak. Sementara itu sang putri mengirim utusan khusus ke Aceh untuk menemui Sultan Aceh, mengabarkan nasib yang menimpa dirinya. Sultan Aceh bukan main marahnya. Pada tahun kl. 1528, tiga tahun setelah pernikahannya diusirnya sang putri dari Pagaruyung, dengan segera memanggil para mentrinya yang dipimpin oleh Wazir, atau Perdana Mentri Kesultanan Aceh. Dikirimlah suatu pasukan khusus untuk menjeput sang putri ke Koto Gadang Agam. Namun ketika sampai di Koto Gadang, sang putri telah berangkat terlebih dahulu dan sampai di Natal. Di Natal sang putri diterima oleh Raja Natal. Nantinya dengan restu Sultan Aceh, sang putri atau Putri Kemala menjadi permaisuri dari Raja Natal.
Seterusnya pasukan Aceh dikirim ke Bandar Muar (Tiku), dan seorang Khalifah yakni wakil dari Sultan Aceh ditempatkan di sana . Bandar Muar dirobah nama nya menjadi Bandar Khalifah. Kemudian tentara Aceh juga ditempatkan di Pariaman, di Padang, di Bayang, Painan dan Indrapura. Pasukan Aceh dalam waktu cepat menguasai bagian barat dari Kemaharajaan Suwarnabhumi Pagaruyung. Pada tahun kl. 1539 hampir seluruh pantai barat Minangkabau dari Bandar Khalifah sampai Indrapura jatuh ke tangan Aceh. Awal tahun 1539 itu pula Aceh menundukkan kerajaan–kerajan nagari. Mulai saat itu di wilayah kekuasaan Aceh di pantai barat Minangkabau, tidak lagi memiliki rumah bergonjong seperti di pedalaman dan kawasan lain, tetapi menggantinya dengan “rumah berlangkan” yang disebut rumah gadang “Surambi Aceh”.
Kedudukan Aceh di pesisir barat disahkan oleh Pagaruyung setelah berlangsung perundingan antara Kesultanan Aceh dengan Pagaruyung atas inisiatif Raja Bagewang yang mengambil alih permasalahan dari pihak Pagaruyung. Ditetapkan kawasan pesisir barat (Rantau Mudik) terkecuali Pasaman, dikuasai oleh Aceh. Untuk itu pihak Aceh tidak akan mencampuri pemerintahan kerajaan dan nagari yang telah ada. Di wilayah kekuasaan ini, Aceh memiliki hak monopoli perniagaan, dan setiap hasil dari pesisir barat yang dikuasai Aceh dikirim ke luar negeri melalui Aceh. Sebagai imbalannya, Pagaruyung dibebaskan dari segala hutang piutang.
Maharaja Dewana Turun Takhta
Kehilangan wilayah pesisir barat Minangkabau, dianggap karena “ulah” Maharaja Dewana yang dikenal dengan gelar Daulat Tuanku Maharaja Sakti seperti kakek moyangnya. Gelar ini diwarisi dari kakek moyangnya Daulat Yang Dipertuan Raja Nan Sakti (I) ayah kandung Putri Panjang Rambut II yang kemudian mewarisi takhta kerajaan sebagai Daulat Yang Dipertuan Putri Raja Alam Minangkabau.
Selepas perundingan dengan Aceh, para pemuka kerajaan menolak untuk bekerjasama dengan Maharaja Dewana. Tetapi tidak satupun yang mengingini Maharaja Dewana untuk turun takhta. Namun Maharaja Dewana tidak mampu untuk mengendalikan kerajaan, karena setiap titah yang dikeluarkan baginda tak satupun dari masyarakat yang mematuhinya. Setiap nagari mengurus diri mereka sendiri.
Akhirnya Maharaja Dewana menyatakan pengunduran dirinya. Maharaja Dewana turun takhta sekitar tahun 1539 M. Baginda setelah turun takhta sebentar menjenguk keluarga ke Koto Anau. Untuk selanjutnya berangkat meninggalkan segala kemegahan dan keluarga yang ada. Baginda berangkat ke Pagar Dewang Tanah Kahyangan dan berkhalwat di sana.
Kenapa berkhalwat harus ke Pagar Dewang … ? Kenapa tidak di Pagaruyung Gunung Marapi saja ….? Apa hubungan khalwat dengan Pagar Dewang…yang terletak jauh di ujung Pesisir Barat bagian Selatan yang dikenal juga dengan wilayah Kerajaan Kesultanan Indrapura ? Apakah seorang raja Pagaruyung ini sajakah yang pernah pergi berkhalwat ke Pagar Dewang … ? Banyak pertanyaan muncul dari kalangan pemerhati yang menyimak misteri ini.
Baginda digantikan oleh putra baginda yakni Dewang Sari Megowano dari keturunan Istano Gudam yang naik takhta dengan gelar Daulat Yang Dipertuan Rajo Maharajo, atau Raja Maharaja. Sri Baginda Maharaja Dewana dengan Putri Kemala tidak mempunyai keturunan. Dengan Dewi Ranggowani mempunyai putra putri yakni Dewang Sari Megowano, Puti Reno Bulian (permaisuri Raja Koto Anau), Puti Reno Kayangan Pagadewi (Permaisuri Raja Sungai Nyalo di Koto XI Tarusan), dan Puti Reno Mahligai Cimpago Dewi (permaisuri Raja Sungai Tarab Dewang Patualo Sanggowano Rajowano Datuk Bandaharo Putiah (VI). Dan secara khusus disebut juga oleh anak kemenakan beliau sebagai “Datuk Gudam” (Datuk dari Balai Gudam).
Dari hubungan kekeluargaan ini jelas pula terkait erat hubungan kerajaan Koto Anau, kerajaan Sungai Nyalo di Koto XI Tarusan dengan Datuk Bandaro Putih VI yang kemudian menjadi Raja Alam Minangkabau. Ketiga kerajaan ini menjadi kekuatan utama dalam melumpuhkan Portugis di Pesisir Barat Sumatera, dan ini tidak terlepas dari kordinasi kekuatan dan diplomasi intelektual yang dilakukan Raja / Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura zaman itu. Dibalik hubungan kerajaan, sebenarnya mereka memiliki hubungan kekerabatan yang amat dekat.
Kenapa sejarah ini dihilangkan? Lalu muncul di abad 16 Maharaja Alif yang dibesar-besarkan … ? Inilah pertanyaan besar, seakan akan sejarah Minangkabau Pagaruyung hanya dimulai dari Maharaja Alif dan menganggap pula bahwa Islam baru berkembang di zaman raja ini … sebelumnya bagaimana … ? Inilah sejarah Minangkabau Pagaruyung yang terputus (sekira 2 abad) sejak Ananggawarman (putra Adityawarman) abad 14 sampai munculnya Maharaja Alif (abad 16). Ada bagian sejarah “Minangkabau Pagaruyung” yang sengaja atau tidak sengaja hilang dalam perjalanan kemelut sejarahnya …. Semoga kita mendapatkan titik palito kembali.

Tambo Alam Minangkabau : Penghapusan Sejarah


Tambo dalam arti yang sebenarnya adalah cerita sejarah negeri Minangkabau. Tambo-tambo lama Minangkabau didapati hampir di tiap-tiap nagari di Minangkabau yang ditulis dengan tangan dan memakai aksara Arab. Tambo-tambo tersebut sangat dimuliakan orang, bahkan adakalanya dipandang sebagai pusaka keramat. Sehingga yang memegangnya adalah kepala suku atau orang yang akan mengantikan kepala suku itu. Tidak sembarang orang yang boleh membaca, bahkan untuk membacanya harus didahului upacara khusus.
  Lukisan Marapi dilihat dari Danau Singkarak
Beberapa Saduran Naskah Tambo
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Edwar Djamaris, tambo-tambo yang banyak itu ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan sebagian kecil ditulis dengan huruf latin. Naskah Tambo Minangkabau yang berhasil diketemukan sebanyak 47 naskah, masing-masing tersimpan di museum Nasional Jakarta sebanyak 10 naskah, di perpustakaan Universitas Leiden sebanyak 31 naskah, di perpustakaan KITLV Leiden Belanda sebanyak 3 naskah, di perpustakaan SOAS Universitas London 1 naskah, dan di perpustakaan RAS London 2 naskah.
Ada delapan saduran cerita Tambo Minangkabau yaitu:
Tujuan Penulisan Tambo
Secara umum dapat dikemukakan bahwa fungsi utama cerita Tambo Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau. Hal ini dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa bersatu karena seketurununan, seadat dan senegeri.
A.A Navis seorang Budayawan Minang mengatakan Kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa secara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang kedongeng-dongengan. Adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak pendengarnya.
Subjektivitas dan Falsafah Minang Dalam Penulisan Tambo
Terlepas dari kesamaran objektivitas historis dari Tambo tersebut namun Tambo berisikan pandangan orang Minang terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Navis, peristiwa sejarah yang berabad-abad lamanya dialami suku bangsa Minangkabau dengan getir tampaknya tidaklah melenyapkan falsafah kebudayaan mereka. Mungkin kegetiran itu yang menjadikan mereka sebagai suku bangsa yang ulet serta berwatak khas. Mungkin kegetiran itu yang menjadi motivasi mereka untuk menghapus sejarah masa silam dengan menciptakan tambo yang kedongeng-dongengan, disamping alasan kehendak falsafah mereka sendiri yang tidak sesuai dengan dengan falsafah kerajaan yang menguasainya. Mungkin kegetiran hidup dibawah raja-raja asing yang saling berebut tahta dengan cara yang onar itu telah lebih memperkuat keyakinan suku bangsa itu akan rasa persamaan dan kebersamaan sesamanya dengan memperkukuh sikap untuk mempertahankan ajaran falsafah mereka yang kemudian mereka namakan adat.
Cerita Sentral Tambo Alam Minangkabau
Ringkasan cerita dalam Tambo Alam Minangkabau adalah seputar pendirian masyarakat yang kini dikenal sebagai Minangkabau. Cerita bermula dari pelayaran tiga orang anak raja Iskandar Zulkarnain mencari wilayah baru. Salah seorang anaknya yaitu Sri Maharajo Dirajo (yang menjadi titik sentral cerita) akhirnya mendarat di puncak Gunung Marapi. Dari sini lah Sri Maharajo Dirajo mulai membangun masyarakatnya yang diawali dengan berpindah-pindah mencari tanah yang baik untuk ditempati dan ditanami.
Selanjutnya keturunan-keturunan mereka yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang menciptakan aturan-aturan adat untuk mengatur masyarakat yang semakin berkembang. Episode selanjutnya diteruskan oleh tambo-tambo nagari yang tersebar di setiap nagari, antara lain berkisah tentang asal muasal nenek moyang pendiri nagari-nagari tersebut.
Naskah Semacam Tambo di luar Minangkabau
Daerah-daerah di Pesisir Timur Sumatera dan Alam Kerinci juga memiliki naskah-naskah semacam tambo dengan tujuan yang sama, diantaranya:
  • Sejarah Malayu (Sulalatus Salatin) yang secara harfiah berarti Istana Para Raja. Kitab ini dipercaya di Semenanjung Malaysia dan Sumatera Selatan, tokoh sentralnya adalah Sang Sapurba (Sang Nila Utama Sri Tribuana) atau Raja Natan Sang Sita Sangkala serta Demang Lebar Daun. Sang Sapurba dipercaya sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain. Pada beberapa keterangan, Sang Sapurba ini disebut adalah orang yang sama denganDapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 M.
  • Tombo Lubuk Jambi, dipercaya oleh masyarakat Lubuk Jambi dan Kuantan. Tokoh utamanya masih Sang Sapurba, namun bedanya disini Sang Nila Utama disebut sebagai putra dari Sang Sapurba. Mitologi Lubuk Jambi ini berpusat pada cerita Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang. Klimaks dari tombo ini adalah kekalahan Raja Aur Kuring dari Koto Alang dan menyingkirnya Patih dan Temenggung ke Gunung Marapi. Tombo Lubuk Jambi diceritakan turun-temurun secara rahasia atau dikenal sebagaiRahasio Penghulu.
  • Tambo Alam Kerinci, dipercaya oleh masyarakat Kerinci. Tambo ini masih merunut pada Tambo Alam Minangkabau, meskipun tokoh utamanya telah bergeser menjadi Ninik Indar Bayang yang berangkat dari Pasumayan Koto Batu (Pagaruyung) menuju Alam Kerinci.

Masa Penulisan Tambo Alam Minangkabau
Kebanyakan naskah tambo ditulis setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau. Hal ini dibuktikan oleh tulisan pada naskah yang hampir seluruhnya ber-aksara Arab Melayu. Penulisan naskah secara besar-besaran diperkirakan dimulai setelah berakhirnya Perang Paderi atau setelah perjanjian Sumpah Sati Marapalam. Sebelumnya cerita yang dituliskan pada naskah-naskah tambo ini diturunkan secara turun-temurun dari para pemangku adat ke pemangku adat, atau lebih dikenal dengan istilah warih nan bajawek.
Penghapusan Sejarah di dalam Tambo
Sebagaimana dikatakan oleh A.A Navis, Tambo berisikan pandangan orang Minang terhadap dirinya sendiri. Di dalamnya ada subjektivitas untuk menyamarkan objektivitas historis. Penyebabnya antara lain adalah sejarah Minangkabau yang di masa lalunya pernah menjadi target penguasaan bangsa lain. Majapahit pernah menyerang Minangkabau dan Aceh pernah menduduki Pesisir Barat nya selama ratusan tahun. Subjektivitas dalam penulisan tambo ini akhirnya menghasilkan berbagai versi tambo yang beredar dan menyebar di masyarakat. A.A Navis selanjutnya mengatakan “kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa secara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang kedongeng-dongengan”. Walaupun demikian para penulis tambo tampaknya sepakat bahwa tambo yang ditulis haruslah menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau.
Penambahan Hikayat Islam dan Penghapusan Unsur Hindu-Buddha
Dikarenakan sebagian besar tambo ditulis setelah masuknya Islam, maka pada sebagian tambo seperti Tambo Alam Minangkabau versi Datuak Sangguno Dirajo, hikayat-hikayat dan kisah-kisah yang terkait Agama Islam mulai dicampurkan ke dalam tambo, misalnya cerita soal Banjir Nabi Nuh, kisah Nabi Adam dan Puti Bidadari dari Sarugo. Pandangan keagamaan yang dianut Tarekat tertentu seperti Syatariah juga diintegrasikan ke dalam tambo seperti konsep Nur Muhammad yang dikenal dalam tasawuf.
Akibatnya beberapa unsur-unsur Hinduisme dan Buddhisme yang dianut orang Minangkabau sebelumnya dengan sengaja dihapus dari “cerita resmi”. Daerah Minangkabau sendiri secara keagamaan termasuk unik. Berdasarkan catatan I Tsing yang berkunjung tahun 671 ke Sriwijaya, ketika wilayah lain di Sumatera dikuasai Sriwijaya yang menganut Budha Hinayana, wilayah Malayu (proto Minangkabau) tidak diketahui menganut agama jenis apa. Namun dari penghormatan penduduknya terhadap Gunung Marapi, ada indikasi bahwa agama yang dianut adalah campuran Animisme dan salah satu cabang Hinduisme. Sedangkan dari falsafah adat Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago, ditemukan unsur-unsur norma yang terdapat dalam ajaran Hinduisme dan Buddhisme.
Praktek penghapusan unsur kedua kepercayaan masa lampau itu antara lain diwujudkan dengan penciptaan arti baru dari istilah-istilah kelarasan dan nama-nama nagari. Berikut adalah contohnya:
  • Koto Piliang yang diberi arti baru yaitu Kata Pilihan, padahal akar katanya adalah Katta (benteng), Pili (dharma) dan Hyang (dewa), yang mencerminkan agama dan falsafah yang dianut pendirinya yaitu Hinduisme. Ada pula yang menerjemahkan Piliang dengan istilah banyak dewa. Pili mereka terjemahkan sebagai Pele/Poly (banyak). Tentu amat menggelikan ketika suku kata pertama diterjemahkan dari Bahasa Latin dan yang kedua dari Bahasa Sansekerta.
  • Bodi Chaniago yang diberi arti baru Budi yang Berharga, padahal akar katanya adalah Boddhi (pohon boddhisatva) dan Can Yaga (tubuh yang bersila). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendiri kelarasan ini adalah seorang penganut ajaran Buddha. Hal ini masih bisa dilacak dari falsafah-falsafah Bodi Chaniago dan ukiran-ukiran bermotif bunga teratai (simbol ajaran Buddha) pada rumah gadangnya.
  • Pariangan yang diberi arti baru tempat beriang-riang, adahal akar katanya adalah Para Hyang (tempat dewa-dewa / tempat suci)
  • Sangkayan yang diberi arti baru sangkak ayam, berasal dari kata Sanggha (jemaah) Hyang (dewa), pengikut dewa.
  • Jambu Lipo yang diberi arti baru jan bu lupa, padahal asal katanya adalah Jambhu Dwipa (tanah asal)
  • Dan banyak lagi seperti Sungayang (Sungai Hyang) dan Suruaso (Sri Suruwasa)
Meskipun demikian tambo-tambo ini masih mengakui bahwa para nenek moyang yang datang ke Minangkabau berasal dari sebagian daerah di India Selatan, meskipun tidak menyebut agamanya. Di lain hal, gelar-gelar yang dipakai para pemangku adat dan datuak masih mempertahankan istilah-istilah bernuansa India, semisal Maharajo (Maharaj), Indo (Indra), Rajo Indo (Rajendra) dll. Sedangkan istilah datuak sendiri adalah istilah asli Nusantara (bahasa Austronesia), yaitu berasal dari kata Datu (pemimpin).
Penciptaan Tokoh Sentral
Seperti pada naskah-naskah serupa tambo lainnya di pada beberapa daerah yang telah diulas di atas, Tambo Alam Minangkabau juga memerlukan seorang tokoh sentral sebagai pemersatu. Tokoh ini adalah Ninik Sri Maharajo Dirajo yang disebut sebagai putra bungsu dari Raja Iskandar Zulkarnain di Tanah Rum. Dua tokoh pencipta aturan adat Minangkabau yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah keturunan dari tokoh sentral ini.
Disinyalir kedua orang inilah yang menciptakan cerita dan tokoh sentral Sri Maharajo Dirajo ini sebagai landasan konstitusi Minangkabau. Cerita tentang pelayaran yang kemudian mendarat di puncak Gunung Marapi berkemungkinan besar juga diciptakan mereka berdua. Ada perbedaan antara Duo Datuak ini dengan Sri Maharajo Dirajo, mereka berdua adalah tokoh historis dalam artian meninggalkan bukti-bukti fisik (batu batikam) dan non-fisik (aturan adat dan falsafah), sedangkan Sri Maharajo Dirajo dan beberapa pengiriangnya masih merupakan tokoh legendaris.
Kekacauan Logika Antar Versi Tambo
Dengan banyaknya versi tambo yang beredar, ditemukan beberapa ketidaksinkronan yang menyolok dalam tambo, utamanya mengenai garis keturunan. Beberapa diantaranya:
  • Tokoh Cati Bilang Pandai disebut dalam Tambo Datoek Toeah sebagai pandai mas yang membuat replika mahkota Sri Maharajo Dirajo yang dibuang saudaranya ke dalam laut. Cati Bilang Pandai kemudian dibunuh setelah menyelesaikan tugasnya. Anehnya pada kesempatan lain tokoh ini kembali muncul di Pariangan, dan menjadi suami kedua janda Sri Maharajo Dirajo. Disini dia disebut Indra Jati yang bergelar Cati Bilang Pandai.
  • Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mualim disebutkan sebagai pendekar-pendekar dan pendiri Silek Minang, namun di tempat lain keempatnya disebut sebagai perempuan pengiring yang sudah dianggap anak sendir oleh Sri Maharajo Dirajo. Cerita lain keempat orang ini melahirkan anak perempuan yang kemudian dikawinkan dengan 4 orang tukang perahu yang memperbaiki perahu Sri Maharajo Dirajo yang kandas di Pulau Jawa dekat Gunung Serang.
  • Tokoh Datuak Katumanggungan disebut sebagai anak dari Sri Maharajo Dirajo dengan Indo Jalito (adik dari Datuk Suri Dirajo), dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah anak dari Indra Jati (Cati Bilang Pandai) dan Indo Jalito. Pada kesempatan lain disebut ayah dari Datuak Katumanggungan adalah Sang Sapurba (Rusa Emas dari lautan).
  • Tokoh Cati Reno Sudah, tiba-tiba muncul tanpa asal usul yang jelas, dan bertindak sebagai juru runding dengan seorang nahkoda dari laut. Ia diutus oleh Datuk Suri Dirajo dan memenangkan pertandingan adu kerbauyang terkenal itu dan dua teka-teki yang diajukan sang nahkoda.
  • Tokoh Sang Sapurba (Rusa Emas dari lautan) atau Raja Natan Sang Sita Sangkala. Tokoh ini disebut juga dalam mitologi Palembang sebagai menantu Demang Lebar Daun. Entah sejak kapan pula tokoh ini muncul dalam Tambo Alam Minangkabau. Dalam buku Minangkabau Tanah Pusaka, disebutkan Datuk Suri Dirajo mengawinkan Sang Sapurba ini dengan adiknya yaitu Indo Jalito. Padahal Indo Jalito adalah istri dari Ninik Sri Maharajo Dirajo pada tambo-tambo arus utama. Otomatis dalam versi ini Sang Sapurba menjadi ayah dari Datuak Katumanggungan. Versi ini juga menyebutkan Sang Sapurba datang ratusan tahun setelah meninggalnya Ninik Sri Maharajo Dirajo. Lucunya yang memerintah pada masa itu adalah Datuk Suri Dirajo, orang yang sama yang ada di perahu Ninik Sri Maharajo Dirajo. Apakah Datuk Suri Dirajo bisa berumur ratusan tahun atau yang memerintah di zaman Sang Sapurba hanya keturunannya yang memakai gelar yang sama, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Untuk membuat cerita versi ini rujuk dengan arus utama disebutkan pula bahwa Sang Sapurba akhirnya diberi gelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang sama dengan nenek moyang pertama orang Minangkabau. Selanjutnya dibuatkan tempat ibadah dan candi untuknya ditempat yang kemudian bernama Pariangan (Par Hyangan = tempat menyembah dewa). Selanjutnya adalah kisah heroik ketika Sang Sapurba dapat mengalahkan Naga Sikati Muno (Shati Muna dalam mitologi Palembang). Setelah ini baru Sang Sapurba memerintahkan pencarian tanah-tanah baru untuk pemukiman dan berdirilah Nagari Sungai Tarab, Bungo Satangkai dll. Cerita selanjutnya sama. Dampak dimasukkannya tokoh Sang Sapurba ini kedalam tambo adalah terjadinya pergeseran waktu yang luar biasa antara mendaratnya Ninik Sri Maharajo Dirajo dengan pendirian Nagari Sungai Tarab. Inilah perbedaan yang amat mendasar antara tambo yang memuat Sang Sapurba dan yang tidak memuatnya.
  • Tokoh Adityawarman. Dalam tambo versi Datuak Sangguno Dirajo Adityawarman dikisahkan sebagai seorang bergelar Sri Paduka Berhala yang datang dari laut menemui datuk yang bertiga di Pariangan (Lagundi Nan Baselo). Disaat itu timbul perbantahan diantara ninik yang bertiga mengenai Adityawarman. Datuak Katumanggungan mengatakan bahwa dia adalah raja, sedangkan menurut Datuk Parpatiah Nan Sabatang orang itu bukan raja melainkan mentri saja, dan menurut Datuk Sri Maharaja Nan Banego Nego orang itu hanya seorang utusan raja. Akhirnya datuk yang berdua menurut kepada apa yang dikatakan Datuk Katumanggungan karena beliau berniat akan mengambil orang itu sebagai semendanya. Adityawarman kemudian dikawinkan dengan adit Datuk Katumanggungan yang bernama Puti Reno Mandi, dan diberi gelar Sri Maharaja Diraja pula. Tambo versi ini akan membuat kesimpulan bahwa datuk yang berdua hidup sezaman dengan Adityawarman. Agaknya versi ini berusaha mencocok-cocokkan tambo dengan prasasti Padang Roco yang memuat nama Dewa Tuhan Perpatih yang diterjemahkan sebagai Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tambo ini juga berusaha mencocok-cocokkan tahun peristiwa ini dengan masa Ekspedisi Pamalayu yang dicatat dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Dalam hikayat tersebut disebutkan tokoh Patih Sewatang dari Minangkabau berhadapan dengan Patih Gadjah Mada dari Majapahit. Konsekuensi dari memasukkan penafsiran Sri Paduka Berhala sebagai Adityawarman adalah bergesernya latar cerita Ninik Sri Maharaja Diraja ke sekitar tahun 1000 M (Periode Dharmasraya), akibatnya hubungan keterkaitan Minangkabau dengan Kerajaan Malayu Tua (Minanga) yang eksis tahun 671 menjadi berantakan.
  • Tokoh Dang Tuanku. Dang Tuanku sebenarnya tokoh dalam Kaba Cindua Mato, namun beberapa versi tambo dan cerita rakyat menafsirkan Dang Tuanku sebagai Adityawarman, dan Dara Jingga ibunya sebagai Bundo Kanduang. Dalam Kaba Cindua Mato tersebut ada peperangan antara Pagaruyung (sudah berbentuk kerajaan) dengan Sungai Ngiang (Kuantan Singingi) dimana berakhir dengan kekalahan Pagaruyung. Penafsiran ini agak sulit diterima akal karena Adityawarman adalah seorang panglima militer yang kuat pada zaman itu. Apalagi ia dididik di Majapahit dan pernah terlibat dalam pemadaman beberapa pemberontakan. Namun jika dihubungkan dengan Tombo Lubuk Jambi maka menurut mereka kisah Dang Tuanku ini terjadi pada abad ke 8 Masehi, sezaman dengan Kerajaan Koto Alang.
  • Tokoh Indo Jalito. Indo Jalito punya banyak penafsiran pula, ia dikisahkan sebagai istri Ninik Sri Maharaja Diraja, sedangkan di lain tempat sebagai istri Sang Sapurba, bahkan ada yang menganggap dia adalah Bundo Kanduang itu sendiri.
  • Tokoh Ananggawarman, putra dari Adityawarman. Dalam Tambo Pagaruyung tokoh ini disebut kawin dengan Puti Reno Dewi ( anak Datuk Katumanggungan dengan Puti Samputi). Mereka dikaruniai tiga anak perempuan yaitu Puti Panjang Rambut, Puti Salareh Pinang Masak dan Puti Bungsu. Sejak Ananggawarman mangkat tahun 1417  kepemimpinan di Pagaruyung khususnya Raja Alam telah dipegang oleh Datuk Bandaro Putih – Tuan Titah IV yang juga bergelar Rajo Bagewang I yang kemudian diteruskan oleh Yang Dipertuan Sutan Bakilap Alam.

Menyoal Tokoh Asing di dalam Tambo
Dari berbagai versi tambo tersebut terjadilah sebuah jalinan cerita yang tidak logis baik secara alur, genealogis maupun latar. Sumber kekacauan tersebut tidak lain adalah keinginan sebagian penulis dan penafsir tambo untuk mencocok-cocokkan tambo dengan data-data yang diambil dari prasasti dan legenda masyarakat lain. Dari tokoh-tokoh yang dipaparkan di atas, setidaknya ada 3 tokoh besar yang sebenarnya tokoh ‘asing’ dalam tambo yaitu Sang Sapurba, Adityawarman dan Ananggawarman. Mereka dibawa ke dalam tema sentral cerita tambo oleh dua kelompok berikut:
  • Kelompok Pengagung Budaya Malayu Tua. Kelompok ini merasa perlu untuk mengintegrasikan Tambo Alam Minangkabau dengan mitologi dan sejarah masyarakat di Greater Melayu (Pesisir Timur, Sriwijaya, Malaka, Jambi). Analisa kelompok ini pada umumnya didukung oleh keturunan Minangkabau yang tinggal di Malaysia. Konsep Greater Melayu ini meyakini semua kerajaan yang pernah berdiri di Tanah Melayu, yaitu eks Sundaland (termasuk di dalamnya Minangkabau) saling terhubung dan kait berkait secara silsilah dari awal abad pertama Masehi sampai sekarang. Tokoh Sang Sapurba adalah simpul yang diperlukan untuk penyatuan kisah-kisah yang bertebaran di seluruh Tanah Melayu. Di Palembang ia dijadikan menantu Demang Lebar Daun, di Bintan dia mengawinkan anaknya dengan putri Raja Bintan, di Kuantan dia diangkat jadi raja dan di Minangkabau dia “dijerat”, dijadikan semenda oleh Datuak Suri Dirajo. Pengintegrasian Sang Sapurba ke dalam Tambo Alam Minangkabau dilakukan dengan cara menafsirkan Rusa Emas yang datang dari laut sebagai dirinya.
  • Kelompok Pengagung Kerajaan Pagaruyung (keluarga bangsawan Pagaruyung). Kelompok ini mengeluarkan Tambo Pagaruyung pada tahun 1970 yang sudah memuat nama Adityawarman. Sebelum penemuan Prasasti Padang Roco dan Arca Amoghapasa di Nagari Siguntur pada tahun 1911, tidak ada ditemukan kemunculan nama Adityawarman dalam tambo-tambo yang beredar di Minangkabau. Kelompok Pagaruyung sangat bersemangat merevisi tambonya (atau lebih tepat mengarang tambonya) setelah satu persatu batu basurek (prasasti) yang dibuat Adityawarman ditemukan dan dapat diterjemahkan. Seluruh isi Tambo Pagaruyung kemudian dikonsep ulang supaya cocok dengan fakta-fakta sejarah yang terukir di prasasti. Bahkan teori terbaru dari kelompok ini menyebutkan bahwa Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya adalah fusi/persatuan dari 3 dinasti kerajaan yang telah ada sebelumnya, yaitu Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Gunung Marapi. Ketiganya di bawah Adityawarman diintegrasikan dalam satu kesatuan yaitu Kerajaan Malayapura. Tampaknya kelompok Pagaruyung berusaha pula rujuk dengan kelompok Greater Malayu dengan menggandeng Sriwijaya sebagai salah satu nenek moyangnya. Sang Sapurba oleh beberapa penafsir juga diakui sebagai nama asli dari Dapunta Hyang, pendiri Kerajaan Sriwijayayang masih misteri itu.
Penutup
Dari ulasan diatas dapat kita pahami sebab musabab terjadinya kekacauan logika dan versi yang berupa-rupa dari tambo yang beredar di Minangkabau. Menurut A.A Navis, adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak pendengarnya. Dus pada akhirnya kita pun sudah tahu bahwa tambo bukanlah sejarah, melainkan semacam kitab konstitusi yang dibuat pertama kali oleh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau itu sendiri.
Upaya mencocok-cocokkan tambo dengan sejarah etnik lain dan prasasti tidak akan serta merta membuat tambo menjadi dokumen sejarah, apalagi jika upaya tersebut dicampuri pula dengan egoisme kelompok atau egoisme keilmuan. Usaha ini hanya akan menjadi sebuah karya yang prematur yang akan ditemukan cacatnya di kemudian hari, bak kata pantun adat berikut ini:
Bulek ruponyo daun nipah
Buleknyo nyato bapasagi
Diliek rupo indak barubah
Dibukak tambuak tiok ragi
Marilah kita mulai penelitian baru dengan menempatkan tambo (dan juga warisan kehidupan yang lain seperti nama tempat, bahasa, adat kebiasaan, arsitektur, musik, kuliner, kesenian, pakaian) sebagai pembangun konteks, bukan cetak biru sejarah yang akan direka-reka.
Catatan Kaki:
Sang Sapurba dalam Mitologi Kuantan
Ketika Sang Sapurba datang, Kerajaan Kuantan tidak memiliki raja. Oleh sebab itu, kedatangan Sang Sapurba disambut gembira oleh rakyat Kuantan, baik para pembesar, pemuka masyarakat, maupun rakyat jelata. Kemudian, mereka sepakat mengangkat Sang Sapurba menjadi raja, dengan persyaratan, Sang Sapurba bersedia membunuh Naga Sakti Muna yang telah merusak ladang milik rakyat
Sang Sapurba kemudian memerintahkan hulubalangnya, Permasku Mambang untuk membunuh sang naga dengan berbekal sundang (pedang modern) pemberian Sang Sapurba. Hulubalang Permasku Mambang berhasil membunuh naga tersebut, sehingga Sang Sapurba diangkat menjadi raja di Kuantan dengan gelar Trimurti Tri Buana.

SILSILAH KETURUNAN RAJA PAGARUYUANG


Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan Gadih Pagaruyung XI.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah, Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.
Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab) mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).
Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).
Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)
Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan suami keduanya: Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih ke XIV).
Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.
Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.
Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib.
Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.
Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.
Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.
Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.
Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.
Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.
Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh (kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti Roswita dan Puti Roswati.
Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.
Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei 1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.
Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya, Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.
Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961. Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah, bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada tahun 1989.
Ibunya, Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang, suka mengajukan pertanyaan pada dirinya, yang kemudian dinilainya sangat berarti. Ayahnya, Muhammad Thaib Datuk Penghulu Basa, seorang guru sejarah dan bahasa Inggris, suka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. “Dari ibu saya mewarisi kegemaran bertanya sebagai perwujudan ingin tahu, dari ayah saya mendapatkan pengetahuan agama, sejarah, alam semesta, sorga dan neraka sebagai jawaban pengetahuan,” katanya, sembari tersenyum. Ia kemudian menyebut kedua orangtuanya sama-sama keturunan dari keluarga Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.
Ia bernama lengkap, Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung. Puti Reno di depan namanya, merupakan nama keluarga yang mengikuti garis matrilineal dari keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Raudhatul Jannah, berarti taman sorga. Thaib, nama sang ayah, yang berarti baik. Sedangkan Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung, gelar yang diwariskan secara turun temurun menurut garis matrilinial. “Gelar itu telah diwariskan kepada kami, enam orang anak perempuan di dalam kaum Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, sewaktu ibu kami Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang mangkat 10 Juni 2007 lalu,” terang perempuan yang memiliki sapaan hangat, Upik. Di kalangan kaum intelektual, terutama masyarakat kebudayaan, ia popular dengan nama yang semasa SMA dipendekkannya menjadi Raudha Thaib.

SEJARAH NAGARI MINANG


Nagari Selayo Dahulu Selangkah


Dalam bertani, masyarakat Nagari Selayo sejak dahulu terkenal maju selangkah. Pengairan sawah di daerah ini sudah teratur rapi sejak nagari itu mulai dihuni. Tali Bandar mengairi petak-petak sawah yang membentang luas. Sehingga, masyarakat Selayo sejak dahulu punya pusaka yang memadai, dikenal sebagai orang kaya.
Kondisi ini pulalah yang mengundang, banyak kaum pendatang menumpang hidup di nagari ini. Pendatang ini kebanyakan terbang menumpu-hinggap mencekam di tanah para penghulu, penguasa nagari masa lampau dan berlanjut hingga kini.
Gaya hidup teratur yang berkesan mewah, tidak hanya dibuktikan oleh penampilan masyarakat Selayo dalam mengadakan pesta perhelatan. Tetapi juga terlihat dari susunan perumahan di Nagari Selayo, yang sejak dahulu kala sudah tertata rapi serupa Perumnas.
“Sampai kini, kita akan tetap melihat bentuk pemilikan tanah di Selayo bagaikapling-kapling Perumnas. Semua ini peninggalan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, ketika beliau sering berkunjung ke Selayo,” kata Muzni Hamzah mengutip cerita masa silam saat dijumpai beberapa waktu lampau.
Dalam catatan sejarah, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, hidup pada waktu pemerintahan Adityawarman, pada awal abab ke-14 (1315 M). Dalam salah satu versisejarah disebutkan keberadaan Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Pagaruyung, tercatat Datuk Parpatiah Nan Sabatang selaku patih kerajaan.
Sebagai tokoh panutan dalam masyarakat Minangkabau, yang memimpin Kelarasan Bodi Caniago, Datuk Parpatiah Nan Sabatang, mempunyai kesukaan mengembara, tidak saja di Minangkabau, tapi sampai ke tanah Jawa. Dalam pengembaraannya, beliau selalu menimba berbagai ilmu dari negeri-negeri yang dikunjunginya. Bila ada hal-hal yang kiranya bermanfaat untuk diterapkan di Minangkabau, maka beliau akan menyebarluaskannya.
Seperti pengembangan pertanian, pembangunan dan lain-lain, yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Minangkabau masa itu. Pengembangan pencetakkan sawah baru, cara bercocok tanam, membuat saluran-saluran air untuk meningkatkan hasil pertanian. Hal ini sudah diterapkan di Selayo.
“Hari terakhir kehadiran Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Selayo, adalah ketika beliau baru saja kembali mengembara dari tanah Jawa. Kedatangan beliau diiringi dua orang pengikut, yaitu seorang Tumenggung dari Kerajaan Majapahit dan seorang Pangeran dari Banten. Dua tokoh tersebut, masing-masing mempunyai keahlian. Tumenggung seorang ahli pertanian/persawahan, yang kemudian memberikan petunjuk-petunjuk kepada anak Nagari Selayo. Sedangkan Pangeran Banten, merupakan seorang ahli ilmu bela diri, yang kemudian juga memberikan latihan beladiri kepada anak Nageri Selayo,” kata Pajri didampingi Wali Nagari Selayo Muzni Hamzah Malin Sutan.
Seperti diungkapkan Pajri yang manatan Kepala Desa Selayo ini, rupanya pengembaraan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, berakhir di Nagari Selayo, karena setelah beberapa hari beristirahat di nagari itu, beliau meninggal dunia.
“Setelah meninggalnya Datuak Parpatiah Nan Sabatang, pengikut beliau dua orang dari Jawa, menetap di Nagari Selayo. Pengeran Raja Banten berdiam dalam suku Subarang Tabek, sedangkan Tumenggung dari Majapahit tinggal dalam suku IV Ninik. Kemudian setelah keduanya meninggal, jenazah mereka dimakamkan di samping makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Bukit Munggu Tanah,” Pajri menjelaskan.
Parpatiah yang dianggap keramat
Bagi anak Nagari Selayo dan sekitarnya, makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang dianggap sebagai makam yang keramat. Pada zaman dahulu sampai kepada akhir zaman orde lama, anak Nagari Selayo dan sekitarnya masih sering melakukan ziarah ke makam tersebut dengan menyampaikan do’a-do’a yang sering diiringkan dengan permohonan agar cita-cita yang diidamkan terkabul.
Mereka mempercayai, tempat Datuak Parpatiah sangat baik sebagai tempat memanjatkan doa, dan melafalkan nazar. Hal ini didasari, arwah “niniak-angku” –sebutan Datuak Parapatiah di Selayo, selalu menyertai doa anak cucunya. Dari keterangan masyarakat setempat, pada zaman dahulu sebelum 1980, anak nagari sekitarnya, sering melakukan kaul (melepaskan hajat dengan berdoa, sambil makan-makan) ke makam “ninik-angku”.
Kaul ini biasanya dilakukan sebelum mulai turun ke sawah, pada penghujung musim kemarau. Acara ini dilakukan dengan membantai sapi, kambing dan ayam, kemudian anak nagari makan bersama dan mendo’a bersama memohon berkah Allah Swt di makam almarhum.
Menurut Anwar Bay, 54, penjaga makam Datuak Parpatiah, hal-hal aneh tapi nyata berkaitan dengan makam “ninik-angku” yang sering dialami masyarakat Nagari Selayo dan sekitarnya, antara lain adalah: ketika terjadi musibah seperti gempa bumi yang dahsyat (tahun 1926), banjir besar (awal tahun 1927), Perang Silungkang, Masukknya Penjajah Jepang, Gestapu dan lain-lain. Pada masa iturakyat Selayo dan sekitarnya, diberitahu oleh “niniak angku” dengan mengelegarnya makam tersebut berturut-turut sampai tiga kali selama beberapa hari.
“Menurut cerita orang tua-tua, bila ada hal-hal yang gawat makam di Bukit Munggu Tanah akan bergetar keras. Getaran (gaga) itu akan diikuti oleh perkuburan Parak Tingga, lalu diikuti oleh gaga dari perkuburan Guguak Kilangan di Padang Kunik, Sawah Sudut Selayo. Akhirnya di sahuti lagi dengan gaga di lokasi pekuburan Balai di Gelanggang Tangah Selayo.
Getaran ini merupakan getaran yang bersumber dari lokasi-lokasi pekuburan orang-orang sakti itu, diiringi bunyi guruh petir yang menegakkan bulu roma. Semua peristiwa itu, jelas terdengar oleh anak Nagari Selayo. Gaga (gelegar) ini terjadi berhari-hari dengan bersahut-sahutan siang dan malam, berakhir sampai musibah tersebut terjadi dan berlaku,” ujar Pajri menceritakan dengan mimik yang sangat serius.
Menurutnya, tahun-tahun terakhir, gelegar semacam itu sudah makin jarang terjadi, terakhir kali terjadi beberapa saat sejak peristiwa G-30-S/PKI akan meletus.
Bagi masyarakat Nagari Selayo, tokoh “ninik-angku” yang dimakamkan di Bukit Munggu Tanah tersebut, merupakan tokoh ninik moyangnya yang dikeramatkan.
Datuk Parpatiah dianggap tokoh yang banyak berjasa bagi anak Nagari Selayo, hingga kehidupan masyarakat daerah ini yang hampir 100% agraris, telah hidup dengan makmur dari hasil sawah dan ladang.
Berasal dari Limo Kaum
Sebagai orang yang telah banyak berjasa bagi perkembangan masyarakat,anak Nagari Selayo menyadari bahwa tokoh agung Datuak Parpatiah Nan Sabatang, bukanlah berasal dari nagari mereka. “Beliau adalah orang orang Dusun Tuo, Lima Kaum, Luhak Tanah Data,” kata Anwar Bay.
Orang asli Nagari Selayo, sebagaimana diketahui pasti punya pandam pekuburan sendiri, dimana setiap kaumnya harus dikuburkan dipandam pekuburankaum tersebut. Sementara Datuak Perpatih Nan Sabatang bermakam di Bukit Munggu Tanah. Lokasi ini bukanlah merupakan pandam pekuburan, melainkan sebuah munggu (tanah yang meninggi bagai bukit) kepunyaan Datuak Gadang. Jadi lokasi makam Datuak Parpatih Nan Sabatang tersebut merupakan lokasi pekuburan khusus bagi beliau.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang, menurut catatan sejarah berasal dari Limo Kaum, sebenarnya masih misteri. Sudah berapa lama riwayat etnis Minangkabau terbentang, sekian banyak pula para ahli sejarah mencari tahu dimana makam beliau sebenarnya. Namun, sedikit ahli sejarah yang dapat mengemukakan kehidupan beliau. Justru yang banyak ditilik dan kaji adalah buah pikiran beliau yang masih dianut ditaati oleh anak Minang hingga zaman modern ini.
Bukit Munggu Tanah
Adalah suatu kebingungan juga, bila kita hanya tahu dengan buah pikiran orang, tapi tidak tahu dimana pekuburan orang yang dikagumi itu. Akan tetapi setelah penelitian lebih lanjut dilakukan oleh para peneliti sejarah, baik di dalam, maupun luar negeri disepakati, bahwa makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang berada di Bukit Munggu Tanah, Jorong Batu Palano Selayo, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Benarkah? (AS)



BIOGRAFI BUYA HAMKA


Biografi Buya Hamka
Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, 
semua tentu mengetahui
bahwa sumber hukum utama dalam
Islam adalah Al Qur’an dan hadits
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam. Tentang Al Qur’an, tentu
tidak perlu diragukan lagi
kebenaran dan keontetikannya.
Namun berkaitan dengan hadits
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam, banyak sekali upaya dari
musuh-musuh Islam serta orang-
orang munafik yang ingin
merancukan ajaran Islam dengan
membuat hadits palsu, yaitu hadits
yang diklaim sebagai ucapan
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam padahal sebenarnya
bukan. Seperti Abdul Karim bin Abi
Auja’, ia mengaku perbuatannya
sebelum ia dihukum mati dengan
berkata: “Demi Allah, aku telah
memalsukan hadits sebanyak 4000
hadits. Saya halalkan yang haram
dan saya haramkan yang halal”.
Namun alhamdulillah, Allah Ta’ala
menjaga kemurnian agama-Nya
dengan memunculkan para ulama
pakar hadits yang berupaya
memisahkan hadits shahih dengan
hadits lemah dan palsu. Dan upaya
ini bukanlah pekerjaan yang mudah
dan selesai dalam sekejap. Bahkan
memerlukan penelitian yang
panjang, ketelitian yang tajam,
kecerdasan akal yang tinggi, hafalan
yang kokoh, serta pemahaman yang
mantap terhadap Al Qur’an dan
hadits. Maka seorang muslim yang
memahami hal ini sepatutnya ia
menghargai dan bahkan kagum atas
jasa para pakar hadits umat Islam
yang telah memberikan kontribusi
besar bagi agama ini.
Dan diantara para ulama pakar
hadits yang telah diakui
kemampuannya dan sangat besar
jasanya, ada satu nama yang sudah
cukup dikenal oleh kita semua
yaitu Imam Muslim dengan kitab
haditsnya yang terkenal yaitu Kitab
Shahih Muslim. Kitab Shahih
Muslim dikatakan oleh Imam An
Nawawi sebagai salah satu kitab
yang paling shahih -setelah Al
Qur’an- yang pernah ada. Sampai-
sampai ketika seseorang
menuliskan hadits yang ada di kitab
tersebut, atau dengan tanda pada
akhir hadits berupa perkataan:
“Hadits riwayat Muslim”, orang
yang membaca merasa tidak perlu
mengecek kembali atau meragukan
keshahihan hadits tersebut.
Subhanallah. Oleh karena itu,
patutlah kita sebagai seorang
muslim untuk mengenal lebih
dalam sosok mulia di balik kitab
tersebut, yaitu Imam Muslim,
semoga Allah merahmati beliau.
Nasab dan Kelahiran Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah Abul
Hasan Muslim bin Hajjaj bin
Muslim bin Warad bin Kausyaz Al
Qusyairi An Naisaburi. Al Qusyairi
di sini merupakan nisbah terhadap
nasab (silsilah keturunan) dan An
Naisaburi merupakan nisbah
terhadap tempat kelahiran beliau,
yaitu kota Naisabur, bagian dari
Persia yang sekarang manjadi
bagian dari negara Rusia. Tentang Al
Qusyairi, seorang pakar sejarah,
‘Izzuddin Ibnu Atsir, dalam kitab Al
Lubab Fi Tahzibil Ansab (37/3)
berkata: “Al Qusyairi adalah nisbah
terhadap keturunan Qusyair bin
Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘Amir bin
Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah
kabilah besar. Banyak para ulama
yang menisbahkan diri padanya”.
Para ahli sejarah Islam berbeda
pendapat mengenai waktu lahir dan
wafat Imam Muslim. Ibnu Hajar Al
Asqalani dalam Taqribut Tahdzib
(529), Ibnu Katsir dalam Al Bidayah
Wan Nihayah (35-34/11), Al Khazraji
dalam Khulashoh Tahdzibul Kamal
mengatakan bahwa Imam Muslim
dilahirkan pada tahun 204 H dan
wafat pada tahun 261 H. Namun
pendapat yang paling kuat adalah
bahwa beliau dilahirkan pada tahun
206 H dan wafat pada tahun 261 H
di Naisabur, sehingga usia beliau
pada saat wafat adalah 55 tahun.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi
dalam kitab Ulama Al Amshar, juga
disetujui An Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim (123/1).
Perjalanan Imam Muslim Dalam
Belajar Hadits
Imam Muslim tumbuh sebagai
remaja yang giat belajar agama.
Bahkan saat usianya masih sangat
muda beliau sudah menekuni ilmu
hadits. Dalam kitab Siyar ‘Alamin
Nubala (558/12), pakar hadits dan
sejarah, Adz Dzahabi, menuturkan
bahwa Imam Muslim mulai belajar
hadits sejak tahun 218 H. Berarti
usia beliau ketika itu adalah 12
tahun. Beliau melanglang buana ke
beberapa Negara dalam rangka
menuntut ilmu hadits dari mulai
Irak, kemudian ke Hijaz, Syam,
Mesir dan negara lainnya. Dalam
Tahdzibut Tahdzib diceritakan
bahwa Imam Muslim paling banyak
mendapatkan ilmu tentang hadits
dari 10 orang guru yaitu:
1. Abu Bakar bin Abi Syaibah,
beliau belajar 1540 hadits.
2. Abu Khaitsamah Zuhair bin
Harab, beliau belajar 1281
hadits.
3. Muhammad Ibnul Mutsanna
yang dijuluki Az Zaman,
beliau belajar 772 hadits.
4. Qutaibah bin Sa’id, beliau
belajar 668 hadits.
5. Muhammad bin Abdillah bin
Numair, beliau belajar 573
hadits.
6. Abu Kuraib Muhammad Ibnul
‘Ila, beliau belajar 556 hadits.
7. Muhammad bin Basyar Al
Muqallab yang dijuluki
Bundaar, beliau belajar 460
hadits.
8. Muhammad bin Raafi’ An
Naisaburi, beliau belajar 362
hadits.
9. Muhammad bin Hatim Al
Muqallab yang dijuluki As
Samin, beliau belajar 300
hadits.
10. ‘Ali bin Hajar As Sa’di, beliau
belajar 188 hadits.
Sembilan dari sepuluh nama guru
Imam Muslim tersebut, juga
merupakan guru Imam Al Bukhari
dalam mengambil hadits, karena
Muhammad bin Hatim tidak
termasuk. Perlu diketahui, Imam
Muslim pun sempat berguru ilmu
hadits kepada Imam Al Bukhari.
Ibnu Shalah dalam kitab Ulumul
Hadits berkata: “Imam Muslim
memang belajar pada Imam
Bukhari dan banyak mendapatkan
faedah ilmu darinya. Namun banyak
guru dari Imam Muslim yang juga
merupakan guru dari Imam
Bukhari”. Hal inilah yang menjadi
salah satu sebab Imam Muslim
tidak meriwayatkan hadits dari
Imam Al Bukhari.
Ada Apa Antara Al Bukhari dan
Muslim?
Imam Al Bukhari adalah salah satu
guru dari Imam Muslim yang paling
menonjol. Dari beliau, Imam
Muslim mendapatkan banyak
pengetahuan tentang ilmu hadits
serta metodologi dalam memeriksa
keshahihan hadits. Al Hafidz Abu
Bakar Al Khatib Al Baghdadi dalam
kitabnya Tarikh Al Baghdadi sampai
menceritakan: “Muslim telah
mengikuti jejak Al Bukhari,
mengembangkan ilmunya dan
mengikuti metodologinya. Ketika Al
Bukhari datang ke Naisabur di masa
akhir hidupnya. Imam Muslim
belajar dengan intens kepadanya
dan selalu membersamainya”.
Hubungan beliau berdua pun
dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar
dalam Syarah Nukhbatul Fikr, beliau
berkata: “Para ulama bersepakat
bahwa Al Bukhari lebih utama dari
Muslim, dan Al Bukhari lebih
dikenal kemampuannya dalam
pembelaan hadits. Karena Muslim
adalah murid dan hasil didikan Al
Bukhari. Muslim banyak mengambil
ilmu dari Al Bukhari dan mengikuti
jejaknya, sampai-sampai Ad
Daruquthni berkata: ‘Seandainya
tidak ada Al Bukhari, niscaya tidak
ada Muslim’ ”.
Lalu apa yang menyebabkan Imam
Muslim tidak meriwayatkan hadits
dari Imam Bukhari? Sehingga dalam
Shahih Muslim tidak ada hadits
yang sanadnya dimulai dengan “ ‘An
Al Bukhari…(Diriwayatkan dari Al
Bukhari)”. Dijawab oleh Syaikh
Abdul Muhsin Al Abbad
hafizhahullah, beliau menuturkan:
“Walau Imam Muslim merupakan
murid dari Imam Al Bukhari dan
Imam Muslim mendapatkan banyak
ilmu dari beliau, Imam Muslim
tidak meriwayatkan satu pun hadits
dari Imam Al Bukhari. Wallahu
Ta’ala A’lam, ini dikarenakan oleh
dua hal:
1. Imam Muslim menginginkan
uluwul isnad (sanad yang
tinggi derajatnya). Imam
Muslim memiliki banyak guru
yang sama dengan guru Imam
Al Bukhari. Jika Imam Muslim
meriwayatkan dari Al Bukhari,
maka sanad akan bertambah
panjang karena bertambah
satu orang rawi yaitu (Al
Bukhari). Imam Muslim
menginginkan uluwul isnad
dan sanad yang dekat jalurnya
dengan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam
sehingga beliau meriwayatkan
langsung dari guru-gurunya
yang juga menjadi guru Imam
Al Bukhari
2. Imam Muslim merasa
prihatin dengan sebagian
ulama yang mencampur-
adukkan hadits-hadits lemah
dengan hadits-hadits shahih
tanpa membedakannya. Maka
beliau pun mengerahkan daya
upaya untuk memisahkan
hadits shahih dengan yang
lain, sebagaimana beliau
utarakan di Muqaddimah
Shahih Muslim. Jika demikian,
maka sebagian hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Al
Bukhari telah dianggap cukup
dan tidak perlu diulang lagi.
Karena Al Bukhari juga sangat
perhatian dalam
mengumpulkan hadits-hadits
shahih dengan ketelitian yang
tajam dan pengecekan yang
berulang-ulang”
Murid-Murid Imam Muslim
Banyak ulama besar yang
merupakan murid dariImam
Muslim dalam ilmu hadits,
sebagaimana di ceritakan dalam
Tahdzibut Tahdzib. Diantaranya
adalah Abu Hatim Ar Razi, Abul
Fadhl Ahmad bin Salamah, Ibrahim
bin Abi Thalib, Abu ‘Amr Al Khoffaf,
Husain bin Muhammad Al Qabani,
Abu ‘Amr Ahmad Ibnul Mubarak Al
Mustamli, Al Hafidz Shalih bin
Muhammad, ‘Ali bin Hasan Al
Hilali, Muhammad bin Abdil
Wahhab Al Faraa’, Ali Ibnul Husain
Ibnul Junaid, Ibnu Khuzaimah, dll.
Selain itu, sebagian ulama
memasukkan Abu ‘Isa Muhammad
At Tirmidzi dalam jajaran murid
Imam Muslim, karena terdapat
sebuah hadits dalam Sunan At
Tirmidzi:
ﻦﺑ ﻲﺤﻳ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﺝﺎﺠﺣ ﻦﺑ ﻢﻠﺴﻣ ﺎﻨﺛﺪﺣ
ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﺔﻳﻭﺎﻌﻣ ﻮﺑﺃ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻲﺤﻳ
ﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲﺑﺃ ﻦﻋ ﺔﻤﻠﺳ ﻲﺑﺃ ﻦﻋ ﻭﺮﻤﻋ
ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ :ﻝﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ
ﻝﻼﻫ ﺍﻮﺼﺣﺃ ”:ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ
”ﻥﺎﻀﻣﺮﻟ ﻥﺎﺒﻌﺷ
Muslim bin Hajjaj menuturkan
kepada kami: Yahya bin Yahya
menuturkan kepada kami: Abu
Mu’awiyah menuturkan kepada
kami: Dari Muhammad bin ‘Amr:
Dari Abu Salamah: Dari Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu, ia
berkata: Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: “Untuk menentukan
datangnya Ramadhan, hitunglah
hilal bulan Sya’ban”.
Dalam hadits tersebut nampak
bahwa At Tirmidzi meriwayatkan
dari Imam Muslim. Terdapat
penjelasan Al Iraqi dalam Tuhfatul
Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi:
“At Tirmidzi tidak pernah
meriwayatkan hadits dari Muslim
kecuali hadits ini. Karena mereka
berdua memiliki guru-guru yang
sama sebagian besarnya”.
Karya Tulis Imam Muslim
Imam An Nawawi menceritakan
dalam Tahdzibul Asma Wal Lughat
bahwa Imam Muslim memiliki
banyak karya tulis, diantaranya:
1. Kitab Shahih Muslim (sudah
dicetak)
2. Kitab Al Musnad Al Kabir ‘Ala
Asma Ar Rijal
3. Kitab Jami’ Al Kabir ‘Ala Al
Abwab
4. 4. Kitab Al ‘Ilal
5. Kitab Auhamul Muhadditsin
6. Kitab At Tamyiz (sudah
dicetak)
7. Kitab Man Laisa Lahu Illa
Rawin Wahidin
8. Kitab Thabaqat At Tabi’in
(sudah dicetak)
9. Kitab Al Muhadramain
Kemudian Adz Dzahabi pun
menambahkan dalam Tahdzibut
Tahdzib bahwa Imam Muslim juga
memiliki karya tulis lain yaitu:
1. Kitab Al Asma Wal Kuna
(sudah dicetak)
2. Kitab Al Afrad
3. Kitab Al Aqran
4. Kitab Sualaat Ahmad bin
Hambal
5. Kitab Hadits ‘Amr bin Syu’aib
6. Kitab Al Intifa’ bi Uhubis Siba’
7. Kitab Masyaikh Malik
8. Kitab Masyaikh Ats Tsauri
9. Kitab Masyaikh Syu’bah
10. Kitab Aulad Ash Shahabah
11. Kitab Afrad Asy Syamiyyin
Mata Pencaharian Imam Muslim
Imam Muslim termasuk diantara
para ulama yang menghidupi diri
dengan berdagang. Beliau adalah
seorang pedagang pakaian yang
sukses. Meski demikian, beliau
tetap dikenal sebagai sosok yang
dermawan. Beliau juga memiliki
sawah-sawah di daerah Ustu yang
menjadi sumber penghasilan
keduanya. Tentang mata
pencaharian beliau diceritakan oleh
Al Hakim dalam Siyar ‘Alamin
Nubala (570/12): “Tempat Imam
Muslim berdagang adalah Khan
Mahmasy. Dan mata
pencahariannya beliau di dapat dari
usahanya di Ustu[1]”. Dalam
Tahdzibut Tahdzib hal ini pula
diceritakan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab Al Farra: “Muslim
Ibnul Hajjaj adalah salah satu
ulama besar…. Dan ia adalah
seorang pedagang pakaian”. Dalam
kitab Al ‘Ubar fi Khabar min Ghabar
(29/2) terdapat penjelasan: “Imam
Muslim adalah seorang pedagang.
Dan ia terkenal sebagai dermawan
di Naisabur. Ia memiliki banyak
budak dan harta”.
Karakter Fisik Imam Muslim
Terdapat beberapa riwayat yang
menceritakan karakter fisik Imam
Muslim. Dalam Siyar ‘Alamin
Nubala (566/12) terdapat riwayat
dari Abu Abdirrahman As Salami, ia
berkata: “Aku melihat seorang
syaikh yang tampan wajahnya. Ia
memakai rida[2] yang bagus. Ia
memakai imamah[3] yang
dijulurkan di kedua pundaknya. Lalu
ada orang yang mengatakan: ‘Ini
Muslim’ ”. Juga diceritakan dari
Siyar ‘Alamin Nubala (570/12),
bahwa Al Hakim mendengar
ayahnya berkata: “Aku pernah
melihat Muslim Ibnul Hajjaj sedang
bercakap-cakap di Khan Mahmasy.
Ia memiliki perawakan yang
sempurna dan kepalanya putih.
Janggutnya memanjang ke bawah di
sisi imamah-nya yang terjulur di
kedua pundaknya”.
Aqidah Imam Muslim
Imam Muslim adalah ulama besar
yang memiliki aqidah ahlussunnah,
sebagaimana aqidah generasi
salafus shalih. Dengan kata lain
Imam Muslim adalah seorang
salafy. Aqidah beliau ini nampak
pada beberapa hal:
Perkataan Imam Muslim di
muqaddimah Shahih Muslim
(6/1) : “Ketahuilah wahai
pembaca, semoga Allah
memberi anda taufik, wajib bagi
setiap orang untuk membedakan
hadits shahih dengan hadits
yang lemah. Juga wajib
mengetahui tingkat kejujuran
rawi, yang sebagian mereka
diragukan kredibilitasnya. Tidak
boleh mengambil riwayat kecuali
dari orang yang diketahui bagus
kredibilitasnya dan hafalannya.
Serta patut untuk berhati-hati
dari orang-orang yang buruk
kredibilitasnya, yang berasal dari
tokoh kesesatan dan ahli bid’ah”.
Diceritakan pula di dalam Syiar
‘Alamin Nubala (568/12) bahwa
Al Makki berkata: “Aku bertanya
kepada Muslim tentang Ali bin
Ju’d. Muslim berkata: ‘Ia tsiqah,
namun ia berpemahaman
Jahmiyyah’”. Hal ini
menunjukkan Imam Muslim
sangat membenci paham sesat
dan bid’ah semisal paham
Jahmiyyah, serta tidak
mengambil riwayat dari tokoh-
tokohnya. Dan demikianlah
aqidah ahlussunnah.
Imam Muslim memulai kitab
Shahih Muslim dengan Bab
Iman, dan dalam bab tersebut
beliau memasukkan hadits-
hadits yang menetapkan aqidah
Ahlussunnah dalam banyak
permasalahan, seperti hadits-
hadits yang membantah
Qadariyyah, Murji’ah, Khawarij,
Jahmiyyah, dan semacam
mereka, beliau juga ber-hujjah
dengan hadits ahad, terdapat
juga bab khusus yang berisi
hadits-hadits tentang takdir.
Judul-judul bab pada Shahih
Muslim seluruhnya sejalan
dengan manhaj Ahlussunnah dan
merupakan bencana bagi ahlul
bid’ah.
Abu Utsman Ash Shabuni dalam
kitabnya, I’tiqad Ahlissunnah Wa
Ash-habil Hadits halaman 121 –
123, yaitu diakhir-akhir kitabnya,
beliau menyebutkan nama-nama
imam Ahlussunnah Wal Jama’ah
dan beliau menyebutkan di
antaranya Imam Muslim Ibnul
Hajjaj.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam kitab Dar’u Ta’arudh il ‘Aql
Wan Naql (36/7) berkata: “Para
tokoh filsafat dan ahli bid’ah,
pengetahuan mereka tentang
hadits Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam serta
atsar para sahabat dan tabi’in
sangatlah sedikit. Sebab jika
memang diantara mereka ada
orang yang memahami sunah
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam serta atsar para
sahabat dan tabi’in serta tidak
berprasangka baik pada hal-hal
yang menentang sunah, tentulah
ia tidak akan bergabung bersama
mereka, seperti sikap yang
ditempuh para ahlul hadits.
Lebih lagi jika ia mengetahui
rusaknya pemahaman filsafat
dan bid’ah tersebut,
sebagaimana para imam
Ahlussunnah mengetahuinya.
Dan biasanya kerusakan
pemahaman mereka tersebut
tidak diketahui selain oleh para
imam sunah seperti Malik
(kemudian disebutkan nama-
nama beberapa imam)… dan
juga Muslim Ibnul Hajjaj An
Naisaburi, dan para imam yang
lainnya, tidak ada yang dapat
menghitung jumlahnya kecuali
Allah, merekalah pewaris para
nabi dan penerus tugas
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam”
Adz Dzahabi dalam kitab Al
‘Uluw (1184/2) menyebutkan:
“Diantara deretan ulama yang
berkeyakinan tidak bolehnya
menta’wilkan sifat-sifat Allah dan
mereka beriman dengan sifat Al
‘Uluw di masa itu adalah
(disebutkan nama-nama
beberapa ulama)… dan juga Al
Imam Al Hujjah Muslim Ibnul
Hajjaj Al Qusyairi yang menulis
kitab Shahih Muslim.”
Al ‘Allamah Muhammad As
Safarini dalam kitab Lawami’ul
Anwaril Bahiyyah Wa Sawati’ul
Asrar Al Atsariyyah (22/1) ketika
menyebutkan nama-nama para
ulama ahlussunnah ia
menyebutkan: “…Muslim, Abu
Dawud, ….”. Kemudian beliau
berkata: “dan yang lainnya,
mereka semua memiliki aqidah
yang sama yaitu aqidah
salafiyyah atsariyyah”.
Dalam Majmu’ Fatawa (39/20)
diceritakan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah ditanya seseorang:
“Apakah Al Bukhari, Muslim, …
(disebutkan beberapa nama
ulama) termasuk ulama
mujtahidin yang tidak taklid
ataukah mereka termasuk orang-
orang yang taklid pada imam
tertentu? Apakah diantara
mereka ada yang menisbatkan
diri kepada mazhab Hanafi?”.
Syaikhul Islam menjawab
panjang lebar, dan pada akhir
jawabannya beliau berkata:
“Mereka semua adalah para
pengagung sunnah dan
pengagung hadits”.
Lebih menegaskan beberapa
bukti diatas, bahwa Imam
Muslim adalah hasil didikan dari
para ulama Ahlussunnah seperti
Imam Ahmad, Ishaq bin
Rahawaih, Imam Al Bukhari, Abu
Zur’ah, dan yang lainnya. Dan
telah diketahui bagaimana peran
mereka dalam memperjuangkan
sunah, dan sikap keras mereka
terhadap ahli bid’ah, sampai-
sampai ahli bi’dah tidak
mendapat tempat di majelis-
majelis mereka.
Mazhab Fiqih Imam Muslim
Jika kita memperhatikan nama-
nama kitab yang ditulis oleh Imam
Muslim, hampir semuanya
membahas seputar ilmu hadits dan
cabang-cabangnya. Hal ini juga
ditemukan pada kebanyakan ulama
ahli hadits yang lain di zaman
tersebut. Akibatnya, kita tidak
dapat mengetahui dengan jelas
mazhab fiqih mana yang mereka
adopsi. Padahal kita semua tahu
bahwa Imam Muslim dan para
ulama hadits di zamannya juga
sekaligus merupakan ulama besar
dalam bidang fiqih, sebagaimana Al
Bukhari dan Imam Ahmad. Dan jika
kita memperhatikan kitab Shahih
Muslim, bagaimana metode Imam
Muslim membela hadits,
bagaimana penyusunan urutan
pembahasan yang beliau buat,
memberikan isyarat bahwa beliau
pun seorang ahli fiqih yang
memahami perselisihan fiqih
diantara para ulama. Oleh karena
itulah Al Hafidz Ibnu Hajar dalam
kitab At Taqrib (529) mengatakan:
“Muslim bin Hajjaj adalah ahli
fiqih”.
Namun ada beberapa pendapat
tentang mazhab fiqih Imam
Muslim. Di antaranya sebagaimana
diutarakan Haji Khalifah dalam kitab
Kasyfuz Zhunun (555/1) ketika
menyebut nama Imam Muslim:
“Muslim Ibnul Hajjah Al Qusyairi
An NaisaburiAsy Syafi’i”. Shiddiq
Hasan Khan juga mengamini hal
tersebut dalam kitabnya Al Hithah
(198). Namun pendapat ini perlu
diteliti ulang. Karena terdapat
beberapa indikasi yang dijadikan
dasar oleh sebagian ulama untuk
mengatakan bahwa Imam Muslim
bermazhabHambali. Diantara,
indikasi tersebut misalnya Imam
Muslim memiliki kitab yang
berjudul Sualaat Ahmad bin
Hambal. Selain itu Imam Muslim
pun berguru pada Imam Ahmad
dan mengambil hadits darinya.
Diceritakan dalam Thabaqat Al
Hanabilah (413/2) bahwa Imam
Muslim juga memuji Imam Ahmad
dengan mengatakan: “Imam Ahmad
adalah salah satu ulama Huffadzul
Atsar (punggawa ilmu hadits)”.
Namun semua bukti ini juga tidak
menunjukkan dengan pasti bahwa
beliau berpegang pada mahzab
Hambali.
Pendapat yang benar adalah bahwa
Imam Muslim berpegang pada
mahzab Ahlul Hadits dan tidak
taklid pada salah satu imam
mazhab. Sebagaimana diterangkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
di Majmu’ Fatawa (39/20): “Adapun
Al Bukhari dan Abu Dawud, mereka
berdua adalah imam mujtahid
dalam fiqih. Sedangkan Muslim, At
Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah,
Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, Al
Bazzar dan yang semisal mereka,
semuanya berpegang pada mahzab
Ahlul Hadits dan tidak taklid
terhadap salah satu imam mahzab.
Mereka juga tidak termasuk imam
mujtahid dalam fiqih secara
mutlak. Namun terkadang dalam
fiqih mereka memiliki
kecenderungan untuk mengambil
pendapat ulama Ahlul Hadits
seperti Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq,
Abu ‘Ubaid, dan yang semisal
mereka”
Pujian Para Ulama
Kedudukan Imam Muslim diantara
pada ulama Islam tergambar dari
banyaknya pujian yang dilontarkan
kepada beliau. Pujian datang dari
guru-gurunya, orang-orang
terdekatnya, murid-muridnya juga
para ulama yang hidup sesudahnya.
Dalam Tarikh Dimasyqi (89/58),
diceritakan bahwa Muhammad bin
Basyar, salah satu guru Imam
Muslim, berkata: “Ada empat orang
yang hafalan hadits-nya paling
hebat di dunia ini: Abu Zur’ah dari
Ray, Muslim Ibnul Hajjaj dari
Naisabur, Abdullah bin
Abdirrahman Ad Darimi dari
Samarkand, dan Muhammad bin
Ismail dari Bukhara”.
Ahmad bin Salamah dalam Tarikh
Baghdad (102-103/13) berkata:
“Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu
Hatim Ar Razi mengutamakan
pendapat Muslim dalam mengenali
keshahihan hadits dibanding para
masyaikh lain di masa mereka
hidup”.
Diceritakan dalam Tarikh Dimasyqi
(89/58), Ishaq bin Mansur Al Kausaz
berkata kepada Imam Muslim:
“Kami tidak akan kehilangan
kebaikan selama Allah masih
menghidupkan engkau di kalangan
muslimin”.
Dalam Tadzkiratul Huffadz, Adz
Dzahabi juga memuji Imam
Muslim dengan sebutan: “Muslim
Ibnul Hajjaj Al ImamAl Hafidz
Hujjatul Islam”.
Imam An Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim berkata: “Para
ulama sepakat tentang keagungan
Imam Muslim, keimamannya,
peran besarnya dalam ilmu hadits,
kepandaiannya dalam menyusun
kitab ini, keutamaannya dan
kekuatan hujjah-nya”.
Wafatnya Imam Muslim
Diceritakan oleh Ibnu Shalah dalam
kitab Shiyanatu Muslim (1216)
bahwa wafatnya Imam Muslim
disebabkan hal yang tidak biasa,
yaitu dikarenakan kelelahan pikiran
dalam menelaah ilmu. Kemudian
disebutkan kisah wafatnya dari
riwayat Ahmad bin Salamah: “Abul
Husain Muslim ketika itu
mengadakan majelis untuk
mengulang hafalan hadits. Lalu
disebutkan kepadanya sebuah
hadits yang ia tidak ketahui. Maka
beliau pun pergi menuju rumahnya
dan langsung menyalakan lampu.
Beliau berkata pada orang yang
berada di dalam rumah: ‘Sungguh,
jangan biarkan orang masuk ke
rumah ini’. Kemudian ada yang
berkata kepadanya: ‘Maukah engkau
kami hadiahkan sekeranjang
kurma?’. Beliau menjawab: ‘(Ya)
Berikan kurma-kurma itu
kepadaku’. Kurma pun diberikan.
Saat itu ia sedang mencari sebuah
hadits. Beliau pun mengambil
kurma satu persatu lalu
mengunyahnya. Pagi pun datang
dan kurma telah habis, dan beliau
menemukan hadits yang dicari”. Al
Hakim mengatakan bahwa terdapat
tambahan tsiqah pada riwayat ini
yaitu: “Sejak itu Imam Muslim sakit
kemudian wafat”. Riwayat ini
terdapat pada kitab Tarikh Baghdadi
(103/13), Tarikh Dimasyqi (94/58),
dan Tahdzibul Kamal (506/27).
Beliau wafat pada waktu di hari
Ahad, dan dimakamkan pada hari
Senin, 5 Rajab 261 H.
Semoga Allah senantiasa
merahmati beliau. Namanya begitu
harum mewangi hingga hari ini,
sungguh ini merupakan buah dari
perjuangan berat nan mulia.
Semoga Allah menerima amal
beliau yang mulia dan
membalasnya dengan yang lebih
baik di hari dimana tidak ada
pertolongan kecuali pertolongan
Allah.
Kita memohon kepada Allah agar
ditengah-tengah kaum muslimin
dimunculkan orang semisal beliau,
yang memiliki perhatian besar dan
semangat tinggi untuk menjaga
agama Allah dan menyebarkannya
di tengah kaum muslimin. Mudah-
mudahan Allah mengumpulkan kita
bersama beliau di Jannah-Nya
kelak.
[Disarikan dari kitab At Ta’rif Bil
Imam Muslim Wa Kitabihi Ash
Shahih karya Syaikh Abdurrahman
bin Shalih As Sudais, dan artikel
dari Majalah Universitas Islam
Madinah yang berjudul Al Imam
Muslim Wa Shahihuhu, Syaikh
Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad,
dengan beberapa tambahan]
P