Laman

BINTANG UTAMA COMUNITI


semua tentu mengetahui
bahwa sumber hukum utama dalam
Islam adalah Al Qur’an dan hadits
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam. Tentang Al Qur’an, tentu
tidak perlu diragukan lagi
kebenaran dan keontetikannya.
Namun berkaitan dengan hadits
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam, banyak sekali upaya dari
musuh-musuh Islam serta orang-
orang munafik yang ingin
merancukan ajaran Islam dengan
membuat hadits palsu, yaitu hadits
yang diklaim sebagai ucapan
Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam padahal sebenarnya
bukan. Seperti Abdul Karim bin Abi
Auja’, ia mengaku perbuatannya
sebelum ia dihukum mati dengan
berkata: “Demi Allah, aku telah
memalsukan hadits sebanyak 4000
hadits. Saya halalkan yang haram
dan saya haramkan yang halal”.
Namun alhamdulillah, Allah Ta’ala
menjaga kemurnian agama-Nya
dengan memunculkan para ulama
pakar hadits yang berupaya
memisahkan hadits shahih dengan
hadits lemah dan palsu. Dan upaya
ini bukanlah pekerjaan yang mudah
dan selesai dalam sekejap. Bahkan
memerlukan penelitian yang
panjang, ketelitian yang tajam,
kecerdasan akal yang tinggi, hafalan
yang kokoh, serta pemahaman yang
mantap terhadap Al Qur’an dan
hadits. Maka seorang muslim yang
memahami hal ini sepatutnya ia
menghargai dan bahkan kagum atas
jasa para pakar hadits umat Islam
yang telah memberikan kontribusi
besar bagi agama ini.
Dan diantara para ulama pakar
hadits yang telah diakui
kemampuannya dan sangat besar
jasanya, ada satu nama yang sudah
cukup dikenal oleh kita semua
yaitu Imam Muslim dengan kitab
haditsnya yang terkenal yaitu Kitab
Shahih Muslim. Kitab Shahih
Muslim dikatakan oleh Imam An
Nawawi sebagai salah satu kitab
yang paling shahih -setelah Al
Qur’an- yang pernah ada. Sampai-
sampai ketika seseorang
menuliskan hadits yang ada di kitab
tersebut, atau dengan tanda pada
akhir hadits berupa perkataan:
“Hadits riwayat Muslim”, orang
yang membaca merasa tidak perlu
mengecek kembali atau meragukan
keshahihan hadits tersebut.
Subhanallah. Oleh karena itu,
patutlah kita sebagai seorang
muslim untuk mengenal lebih
dalam sosok mulia di balik kitab
tersebut, yaitu Imam Muslim,
semoga Allah merahmati beliau.
Nasab dan Kelahiran Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah Abul
Hasan Muslim bin Hajjaj bin
Muslim bin Warad bin Kausyaz Al
Qusyairi An Naisaburi. Al Qusyairi
di sini merupakan nisbah terhadap
nasab (silsilah keturunan) dan An
Naisaburi merupakan nisbah
terhadap tempat kelahiran beliau,
yaitu kota Naisabur, bagian dari
Persia yang sekarang manjadi
bagian dari negara Rusia. Tentang Al
Qusyairi, seorang pakar sejarah,
‘Izzuddin Ibnu Atsir, dalam kitab Al
Lubab Fi Tahzibil Ansab (37/3)
berkata: “Al Qusyairi adalah nisbah
terhadap keturunan Qusyair bin
Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘Amir bin
Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah
kabilah besar. Banyak para ulama
yang menisbahkan diri padanya”.
Para ahli sejarah Islam berbeda
pendapat mengenai waktu lahir dan
wafat Imam Muslim. Ibnu Hajar Al
Asqalani dalam Taqribut Tahdzib
(529), Ibnu Katsir dalam Al Bidayah
Wan Nihayah (35-34/11), Al Khazraji
dalam Khulashoh Tahdzibul Kamal
mengatakan bahwa Imam Muslim
dilahirkan pada tahun 204 H dan
wafat pada tahun 261 H. Namun
pendapat yang paling kuat adalah
bahwa beliau dilahirkan pada tahun
206 H dan wafat pada tahun 261 H
di Naisabur, sehingga usia beliau
pada saat wafat adalah 55 tahun.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi
dalam kitab Ulama Al Amshar, juga
disetujui An Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim (123/1).
Perjalanan Imam Muslim Dalam
Belajar Hadits
Imam Muslim tumbuh sebagai
remaja yang giat belajar agama.
Bahkan saat usianya masih sangat
muda beliau sudah menekuni ilmu
hadits. Dalam kitab Siyar ‘Alamin
Nubala (558/12), pakar hadits dan
sejarah, Adz Dzahabi, menuturkan
bahwa Imam Muslim mulai belajar
hadits sejak tahun 218 H. Berarti
usia beliau ketika itu adalah 12
tahun. Beliau melanglang buana ke
beberapa Negara dalam rangka
menuntut ilmu hadits dari mulai
Irak, kemudian ke Hijaz, Syam,
Mesir dan negara lainnya. Dalam
Tahdzibut Tahdzib diceritakan
bahwa Imam Muslim paling banyak
mendapatkan ilmu tentang hadits
dari 10 orang guru yaitu:
1. Abu Bakar bin Abi Syaibah,
beliau belajar 1540 hadits.
2. Abu Khaitsamah Zuhair bin
Harab, beliau belajar 1281
hadits.
3. Muhammad Ibnul Mutsanna
yang dijuluki Az Zaman,
beliau belajar 772 hadits.
4. Qutaibah bin Sa’id, beliau
belajar 668 hadits.
5. Muhammad bin Abdillah bin
Numair, beliau belajar 573
hadits.
6. Abu Kuraib Muhammad Ibnul
‘Ila, beliau belajar 556 hadits.
7. Muhammad bin Basyar Al
Muqallab yang dijuluki
Bundaar, beliau belajar 460
hadits.
8. Muhammad bin Raafi’ An
Naisaburi, beliau belajar 362
hadits.
9. Muhammad bin Hatim Al
Muqallab yang dijuluki As
Samin, beliau belajar 300
hadits.
10. ‘Ali bin Hajar As Sa’di, beliau
belajar 188 hadits.
Sembilan dari sepuluh nama guru
Imam Muslim tersebut, juga
merupakan guru Imam Al Bukhari
dalam mengambil hadits, karena
Muhammad bin Hatim tidak
termasuk. Perlu diketahui, Imam
Muslim pun sempat berguru ilmu
hadits kepada Imam Al Bukhari.
Ibnu Shalah dalam kitab Ulumul
Hadits berkata: “Imam Muslim
memang belajar pada Imam
Bukhari dan banyak mendapatkan
faedah ilmu darinya. Namun banyak
guru dari Imam Muslim yang juga
merupakan guru dari Imam
Bukhari”. Hal inilah yang menjadi
salah satu sebab Imam Muslim
tidak meriwayatkan hadits dari
Imam Al Bukhari.
Ada Apa Antara Al Bukhari dan
Muslim?
Imam Al Bukhari adalah salah satu
guru dari Imam Muslim yang paling
menonjol. Dari beliau, Imam
Muslim mendapatkan banyak
pengetahuan tentang ilmu hadits
serta metodologi dalam memeriksa
keshahihan hadits. Al Hafidz Abu
Bakar Al Khatib Al Baghdadi dalam
kitabnya Tarikh Al Baghdadi sampai
menceritakan: “Muslim telah
mengikuti jejak Al Bukhari,
mengembangkan ilmunya dan
mengikuti metodologinya. Ketika Al
Bukhari datang ke Naisabur di masa
akhir hidupnya. Imam Muslim
belajar dengan intens kepadanya
dan selalu membersamainya”.
Hubungan beliau berdua pun
dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar
dalam Syarah Nukhbatul Fikr, beliau
berkata: “Para ulama bersepakat
bahwa Al Bukhari lebih utama dari
Muslim, dan Al Bukhari lebih
dikenal kemampuannya dalam
pembelaan hadits. Karena Muslim
adalah murid dan hasil didikan Al
Bukhari. Muslim banyak mengambil
ilmu dari Al Bukhari dan mengikuti
jejaknya, sampai-sampai Ad
Daruquthni berkata: ‘Seandainya
tidak ada Al Bukhari, niscaya tidak
ada Muslim’ ”.
Lalu apa yang menyebabkan Imam
Muslim tidak meriwayatkan hadits
dari Imam Bukhari? Sehingga dalam
Shahih Muslim tidak ada hadits
yang sanadnya dimulai dengan “ ‘An
Al Bukhari…(Diriwayatkan dari Al
Bukhari)”. Dijawab oleh Syaikh
Abdul Muhsin Al Abbad
hafizhahullah, beliau menuturkan:
“Walau Imam Muslim merupakan
murid dari Imam Al Bukhari dan
Imam Muslim mendapatkan banyak
ilmu dari beliau, Imam Muslim
tidak meriwayatkan satu pun hadits
dari Imam Al Bukhari. Wallahu
Ta’ala A’lam, ini dikarenakan oleh
dua hal:
1. Imam Muslim menginginkan
uluwul isnad (sanad yang
tinggi derajatnya). Imam
Muslim memiliki banyak guru
yang sama dengan guru Imam
Al Bukhari. Jika Imam Muslim
meriwayatkan dari Al Bukhari,
maka sanad akan bertambah
panjang karena bertambah
satu orang rawi yaitu (Al
Bukhari). Imam Muslim
menginginkan uluwul isnad
dan sanad yang dekat jalurnya
dengan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam
sehingga beliau meriwayatkan
langsung dari guru-gurunya
yang juga menjadi guru Imam
Al Bukhari
2. Imam Muslim merasa
prihatin dengan sebagian
ulama yang mencampur-
adukkan hadits-hadits lemah
dengan hadits-hadits shahih
tanpa membedakannya. Maka
beliau pun mengerahkan daya
upaya untuk memisahkan
hadits shahih dengan yang
lain, sebagaimana beliau
utarakan di Muqaddimah
Shahih Muslim. Jika demikian,
maka sebagian hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Al
Bukhari telah dianggap cukup
dan tidak perlu diulang lagi.
Karena Al Bukhari juga sangat
perhatian dalam
mengumpulkan hadits-hadits
shahih dengan ketelitian yang
tajam dan pengecekan yang
berulang-ulang”
Murid-Murid Imam Muslim
Banyak ulama besar yang
merupakan murid dariImam
Muslim dalam ilmu hadits,
sebagaimana di ceritakan dalam
Tahdzibut Tahdzib. Diantaranya
adalah Abu Hatim Ar Razi, Abul
Fadhl Ahmad bin Salamah, Ibrahim
bin Abi Thalib, Abu ‘Amr Al Khoffaf,
Husain bin Muhammad Al Qabani,
Abu ‘Amr Ahmad Ibnul Mubarak Al
Mustamli, Al Hafidz Shalih bin
Muhammad, ‘Ali bin Hasan Al
Hilali, Muhammad bin Abdil
Wahhab Al Faraa’, Ali Ibnul Husain
Ibnul Junaid, Ibnu Khuzaimah, dll.
Selain itu, sebagian ulama
memasukkan Abu ‘Isa Muhammad
At Tirmidzi dalam jajaran murid
Imam Muslim, karena terdapat
sebuah hadits dalam Sunan At
Tirmidzi:
ﻦﺑ ﻲﺤﻳ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﺝﺎﺠﺣ ﻦﺑ ﻢﻠﺴﻣ ﺎﻨﺛﺪﺣ
ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﺔﻳﻭﺎﻌﻣ ﻮﺑﺃ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻲﺤﻳ
ﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲﺑﺃ ﻦﻋ ﺔﻤﻠﺳ ﻲﺑﺃ ﻦﻋ ﻭﺮﻤﻋ
ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ :ﻝﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ
ﻝﻼﻫ ﺍﻮﺼﺣﺃ ”:ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ
”ﻥﺎﻀﻣﺮﻟ ﻥﺎﺒﻌﺷ
Muslim bin Hajjaj menuturkan
kepada kami: Yahya bin Yahya
menuturkan kepada kami: Abu
Mu’awiyah menuturkan kepada
kami: Dari Muhammad bin ‘Amr:
Dari Abu Salamah: Dari Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu, ia
berkata: Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: “Untuk menentukan
datangnya Ramadhan, hitunglah
hilal bulan Sya’ban”.
Dalam hadits tersebut nampak
bahwa At Tirmidzi meriwayatkan
dari Imam Muslim. Terdapat
penjelasan Al Iraqi dalam Tuhfatul
Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi:
“At Tirmidzi tidak pernah
meriwayatkan hadits dari Muslim
kecuali hadits ini. Karena mereka
berdua memiliki guru-guru yang
sama sebagian besarnya”.
Karya Tulis Imam Muslim
Imam An Nawawi menceritakan
dalam Tahdzibul Asma Wal Lughat
bahwa Imam Muslim memiliki
banyak karya tulis, diantaranya:
1. Kitab Shahih Muslim (sudah
dicetak)
2. Kitab Al Musnad Al Kabir ‘Ala
Asma Ar Rijal
3. Kitab Jami’ Al Kabir ‘Ala Al
Abwab
4. 4. Kitab Al ‘Ilal
5. Kitab Auhamul Muhadditsin
6. Kitab At Tamyiz (sudah
dicetak)
7. Kitab Man Laisa Lahu Illa
Rawin Wahidin
8. Kitab Thabaqat At Tabi’in
(sudah dicetak)
9. Kitab Al Muhadramain
Kemudian Adz Dzahabi pun
menambahkan dalam Tahdzibut
Tahdzib bahwa Imam Muslim juga
memiliki karya tulis lain yaitu:
1. Kitab Al Asma Wal Kuna
(sudah dicetak)
2. Kitab Al Afrad
3. Kitab Al Aqran
4. Kitab Sualaat Ahmad bin
Hambal
5. Kitab Hadits ‘Amr bin Syu’aib
6. Kitab Al Intifa’ bi Uhubis Siba’
7. Kitab Masyaikh Malik
8. Kitab Masyaikh Ats Tsauri
9. Kitab Masyaikh Syu’bah
10. Kitab Aulad Ash Shahabah
11. Kitab Afrad Asy Syamiyyin
Mata Pencaharian Imam Muslim
Imam Muslim termasuk diantara
para ulama yang menghidupi diri
dengan berdagang. Beliau adalah
seorang pedagang pakaian yang
sukses. Meski demikian, beliau
tetap dikenal sebagai sosok yang
dermawan. Beliau juga memiliki
sawah-sawah di daerah Ustu yang
menjadi sumber penghasilan
keduanya. Tentang mata
pencaharian beliau diceritakan oleh
Al Hakim dalam Siyar ‘Alamin
Nubala (570/12): “Tempat Imam
Muslim berdagang adalah Khan
Mahmasy. Dan mata
pencahariannya beliau di dapat dari
usahanya di Ustu[1]”. Dalam
Tahdzibut Tahdzib hal ini pula
diceritakan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab Al Farra: “Muslim
Ibnul Hajjaj adalah salah satu
ulama besar…. Dan ia adalah
seorang pedagang pakaian”. Dalam
kitab Al ‘Ubar fi Khabar min Ghabar
(29/2) terdapat penjelasan: “Imam
Muslim adalah seorang pedagang.
Dan ia terkenal sebagai dermawan
di Naisabur. Ia memiliki banyak
budak dan harta”.
Karakter Fisik Imam Muslim
Terdapat beberapa riwayat yang
menceritakan karakter fisik Imam
Muslim. Dalam Siyar ‘Alamin
Nubala (566/12) terdapat riwayat
dari Abu Abdirrahman As Salami, ia
berkata: “Aku melihat seorang
syaikh yang tampan wajahnya. Ia
memakai rida[2] yang bagus. Ia
memakai imamah[3] yang
dijulurkan di kedua pundaknya. Lalu
ada orang yang mengatakan: ‘Ini
Muslim’ ”. Juga diceritakan dari
Siyar ‘Alamin Nubala (570/12),
bahwa Al Hakim mendengar
ayahnya berkata: “Aku pernah
melihat Muslim Ibnul Hajjaj sedang
bercakap-cakap di Khan Mahmasy.
Ia memiliki perawakan yang
sempurna dan kepalanya putih.
Janggutnya memanjang ke bawah di
sisi imamah-nya yang terjulur di
kedua pundaknya”.
Aqidah Imam Muslim
Imam Muslim adalah ulama besar
yang memiliki aqidah ahlussunnah,
sebagaimana aqidah generasi
salafus shalih. Dengan kata lain
Imam Muslim adalah seorang
salafy. Aqidah beliau ini nampak
pada beberapa hal:
Perkataan Imam Muslim di
muqaddimah Shahih Muslim
(6/1) : “Ketahuilah wahai
pembaca, semoga Allah
memberi anda taufik, wajib bagi
setiap orang untuk membedakan
hadits shahih dengan hadits
yang lemah. Juga wajib
mengetahui tingkat kejujuran
rawi, yang sebagian mereka
diragukan kredibilitasnya. Tidak
boleh mengambil riwayat kecuali
dari orang yang diketahui bagus
kredibilitasnya dan hafalannya.
Serta patut untuk berhati-hati
dari orang-orang yang buruk
kredibilitasnya, yang berasal dari
tokoh kesesatan dan ahli bid’ah”.
Diceritakan pula di dalam Syiar
‘Alamin Nubala (568/12) bahwa
Al Makki berkata: “Aku bertanya
kepada Muslim tentang Ali bin
Ju’d. Muslim berkata: ‘Ia tsiqah,
namun ia berpemahaman
Jahmiyyah’”. Hal ini
menunjukkan Imam Muslim
sangat membenci paham sesat
dan bid’ah semisal paham
Jahmiyyah, serta tidak
mengambil riwayat dari tokoh-
tokohnya. Dan demikianlah
aqidah ahlussunnah.
Imam Muslim memulai kitab
Shahih Muslim dengan Bab
Iman, dan dalam bab tersebut
beliau memasukkan hadits-
hadits yang menetapkan aqidah
Ahlussunnah dalam banyak
permasalahan, seperti hadits-
hadits yang membantah
Qadariyyah, Murji’ah, Khawarij,
Jahmiyyah, dan semacam
mereka, beliau juga ber-hujjah
dengan hadits ahad, terdapat
juga bab khusus yang berisi
hadits-hadits tentang takdir.
Judul-judul bab pada Shahih
Muslim seluruhnya sejalan
dengan manhaj Ahlussunnah dan
merupakan bencana bagi ahlul
bid’ah.
Abu Utsman Ash Shabuni dalam
kitabnya, I’tiqad Ahlissunnah Wa
Ash-habil Hadits halaman 121 –
123, yaitu diakhir-akhir kitabnya,
beliau menyebutkan nama-nama
imam Ahlussunnah Wal Jama’ah
dan beliau menyebutkan di
antaranya Imam Muslim Ibnul
Hajjaj.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam kitab Dar’u Ta’arudh il ‘Aql
Wan Naql (36/7) berkata: “Para
tokoh filsafat dan ahli bid’ah,
pengetahuan mereka tentang
hadits Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam serta
atsar para sahabat dan tabi’in
sangatlah sedikit. Sebab jika
memang diantara mereka ada
orang yang memahami sunah
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam serta atsar para
sahabat dan tabi’in serta tidak
berprasangka baik pada hal-hal
yang menentang sunah, tentulah
ia tidak akan bergabung bersama
mereka, seperti sikap yang
ditempuh para ahlul hadits.
Lebih lagi jika ia mengetahui
rusaknya pemahaman filsafat
dan bid’ah tersebut,
sebagaimana para imam
Ahlussunnah mengetahuinya.
Dan biasanya kerusakan
pemahaman mereka tersebut
tidak diketahui selain oleh para
imam sunah seperti Malik
(kemudian disebutkan nama-
nama beberapa imam)… dan
juga Muslim Ibnul Hajjaj An
Naisaburi, dan para imam yang
lainnya, tidak ada yang dapat
menghitung jumlahnya kecuali
Allah, merekalah pewaris para
nabi dan penerus tugas
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam”
Adz Dzahabi dalam kitab Al
‘Uluw (1184/2) menyebutkan:
“Diantara deretan ulama yang
berkeyakinan tidak bolehnya
menta’wilkan sifat-sifat Allah dan
mereka beriman dengan sifat Al
‘Uluw di masa itu adalah
(disebutkan nama-nama
beberapa ulama)… dan juga Al
Imam Al Hujjah Muslim Ibnul
Hajjaj Al Qusyairi yang menulis
kitab Shahih Muslim.”
Al ‘Allamah Muhammad As
Safarini dalam kitab Lawami’ul
Anwaril Bahiyyah Wa Sawati’ul
Asrar Al Atsariyyah (22/1) ketika
menyebutkan nama-nama para
ulama ahlussunnah ia
menyebutkan: “…Muslim, Abu
Dawud, ….”. Kemudian beliau
berkata: “dan yang lainnya,
mereka semua memiliki aqidah
yang sama yaitu aqidah
salafiyyah atsariyyah”.
Dalam Majmu’ Fatawa (39/20)
diceritakan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah ditanya seseorang:
“Apakah Al Bukhari, Muslim, …
(disebutkan beberapa nama
ulama) termasuk ulama
mujtahidin yang tidak taklid
ataukah mereka termasuk orang-
orang yang taklid pada imam
tertentu? Apakah diantara
mereka ada yang menisbatkan
diri kepada mazhab Hanafi?”.
Syaikhul Islam menjawab
panjang lebar, dan pada akhir
jawabannya beliau berkata:
“Mereka semua adalah para
pengagung sunnah dan
pengagung hadits”.
Lebih menegaskan beberapa
bukti diatas, bahwa Imam
Muslim adalah hasil didikan dari
para ulama Ahlussunnah seperti
Imam Ahmad, Ishaq bin
Rahawaih, Imam Al Bukhari, Abu
Zur’ah, dan yang lainnya. Dan
telah diketahui bagaimana peran
mereka dalam memperjuangkan
sunah, dan sikap keras mereka
terhadap ahli bid’ah, sampai-
sampai ahli bi’dah tidak
mendapat tempat di majelis-
majelis mereka.
Mazhab Fiqih Imam Muslim
Jika kita memperhatikan nama-
nama kitab yang ditulis oleh Imam
Muslim, hampir semuanya
membahas seputar ilmu hadits dan
cabang-cabangnya. Hal ini juga
ditemukan pada kebanyakan ulama
ahli hadits yang lain di zaman
tersebut. Akibatnya, kita tidak
dapat mengetahui dengan jelas
mazhab fiqih mana yang mereka
adopsi. Padahal kita semua tahu
bahwa Imam Muslim dan para
ulama hadits di zamannya juga
sekaligus merupakan ulama besar
dalam bidang fiqih, sebagaimana Al
Bukhari dan Imam Ahmad. Dan jika
kita memperhatikan kitab Shahih
Muslim, bagaimana metode Imam
Muslim membela hadits,
bagaimana penyusunan urutan
pembahasan yang beliau buat,
memberikan isyarat bahwa beliau
pun seorang ahli fiqih yang
memahami perselisihan fiqih
diantara para ulama. Oleh karena
itulah Al Hafidz Ibnu Hajar dalam
kitab At Taqrib (529) mengatakan:
“Muslim bin Hajjaj adalah ahli
fiqih”.
Namun ada beberapa pendapat
tentang mazhab fiqih Imam
Muslim. Di antaranya sebagaimana
diutarakan Haji Khalifah dalam kitab
Kasyfuz Zhunun (555/1) ketika
menyebut nama Imam Muslim:
“Muslim Ibnul Hajjah Al Qusyairi
An NaisaburiAsy Syafi’i”. Shiddiq
Hasan Khan juga mengamini hal
tersebut dalam kitabnya Al Hithah
(198). Namun pendapat ini perlu
diteliti ulang. Karena terdapat
beberapa indikasi yang dijadikan
dasar oleh sebagian ulama untuk
mengatakan bahwa Imam Muslim
bermazhabHambali. Diantara,
indikasi tersebut misalnya Imam
Muslim memiliki kitab yang
berjudul Sualaat Ahmad bin
Hambal. Selain itu Imam Muslim
pun berguru pada Imam Ahmad
dan mengambil hadits darinya.
Diceritakan dalam Thabaqat Al
Hanabilah (413/2) bahwa Imam
Muslim juga memuji Imam Ahmad
dengan mengatakan: “Imam Ahmad
adalah salah satu ulama Huffadzul
Atsar (punggawa ilmu hadits)”.
Namun semua bukti ini juga tidak
menunjukkan dengan pasti bahwa
beliau berpegang pada mahzab
Hambali.
Pendapat yang benar adalah bahwa
Imam Muslim berpegang pada
mahzab Ahlul Hadits dan tidak
taklid pada salah satu imam
mazhab. Sebagaimana diterangkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
di Majmu’ Fatawa (39/20): “Adapun
Al Bukhari dan Abu Dawud, mereka
berdua adalah imam mujtahid
dalam fiqih. Sedangkan Muslim, At
Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah,
Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, Al
Bazzar dan yang semisal mereka,
semuanya berpegang pada mahzab
Ahlul Hadits dan tidak taklid
terhadap salah satu imam mahzab.
Mereka juga tidak termasuk imam
mujtahid dalam fiqih secara
mutlak. Namun terkadang dalam
fiqih mereka memiliki
kecenderungan untuk mengambil
pendapat ulama Ahlul Hadits
seperti Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq,
Abu ‘Ubaid, dan yang semisal
mereka”
Pujian Para Ulama
Kedudukan Imam Muslim diantara
pada ulama Islam tergambar dari
banyaknya pujian yang dilontarkan
kepada beliau. Pujian datang dari
guru-gurunya, orang-orang
terdekatnya, murid-muridnya juga
para ulama yang hidup sesudahnya.
Dalam Tarikh Dimasyqi (89/58),
diceritakan bahwa Muhammad bin
Basyar, salah satu guru Imam
Muslim, berkata: “Ada empat orang
yang hafalan hadits-nya paling
hebat di dunia ini: Abu Zur’ah dari
Ray, Muslim Ibnul Hajjaj dari
Naisabur, Abdullah bin
Abdirrahman Ad Darimi dari
Samarkand, dan Muhammad bin
Ismail dari Bukhara”.
Ahmad bin Salamah dalam Tarikh
Baghdad (102-103/13) berkata:
“Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu
Hatim Ar Razi mengutamakan
pendapat Muslim dalam mengenali
keshahihan hadits dibanding para
masyaikh lain di masa mereka
hidup”.
Diceritakan dalam Tarikh Dimasyqi
(89/58), Ishaq bin Mansur Al Kausaz
berkata kepada Imam Muslim:
“Kami tidak akan kehilangan
kebaikan selama Allah masih
menghidupkan engkau di kalangan
muslimin”.
Dalam Tadzkiratul Huffadz, Adz
Dzahabi juga memuji Imam
Muslim dengan sebutan: “Muslim
Ibnul Hajjaj Al ImamAl Hafidz
Hujjatul Islam”.
Imam An Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim berkata: “Para
ulama sepakat tentang keagungan
Imam Muslim, keimamannya,
peran besarnya dalam ilmu hadits,
kepandaiannya dalam menyusun
kitab ini, keutamaannya dan
kekuatan hujjah-nya”.
Wafatnya Imam Muslim
Diceritakan oleh Ibnu Shalah dalam
kitab Shiyanatu Muslim (1216)
bahwa wafatnya Imam Muslim
disebabkan hal yang tidak biasa,
yaitu dikarenakan kelelahan pikiran
dalam menelaah ilmu. Kemudian
disebutkan kisah wafatnya dari
riwayat Ahmad bin Salamah: “Abul
Husain Muslim ketika itu
mengadakan majelis untuk
mengulang hafalan hadits. Lalu
disebutkan kepadanya sebuah
hadits yang ia tidak ketahui. Maka
beliau pun pergi menuju rumahnya
dan langsung menyalakan lampu.
Beliau berkata pada orang yang
berada di dalam rumah: ‘Sungguh,
jangan biarkan orang masuk ke
rumah ini’. Kemudian ada yang
berkata kepadanya: ‘Maukah engkau
kami hadiahkan sekeranjang
kurma?’. Beliau menjawab: ‘(Ya)
Berikan kurma-kurma itu
kepadaku’. Kurma pun diberikan.
Saat itu ia sedang mencari sebuah
hadits. Beliau pun mengambil
kurma satu persatu lalu
mengunyahnya. Pagi pun datang
dan kurma telah habis, dan beliau
menemukan hadits yang dicari”. Al
Hakim mengatakan bahwa terdapat
tambahan tsiqah pada riwayat ini
yaitu: “Sejak itu Imam Muslim sakit
kemudian wafat”. Riwayat ini
terdapat pada kitab Tarikh Baghdadi
(103/13), Tarikh Dimasyqi (94/58),
dan Tahdzibul Kamal (506/27).
Beliau wafat pada waktu di hari
Ahad, dan dimakamkan pada hari
Senin, 5 Rajab 261 H.
Semoga Allah senantiasa
merahmati beliau. Namanya begitu
harum mewangi hingga hari ini,
sungguh ini merupakan buah dari
perjuangan berat nan mulia.
Semoga Allah menerima amal
beliau yang mulia dan
membalasnya dengan yang lebih
baik di hari dimana tidak ada
pertolongan kecuali pertolongan
Allah.
Kita memohon kepada Allah agar
ditengah-tengah kaum muslimin
dimunculkan orang semisal beliau,
yang memiliki perhatian besar dan
semangat tinggi untuk menjaga
agama Allah dan menyebarkannya
di tengah kaum muslimin. Mudah-
mudahan Allah mengumpulkan kita
bersama beliau di Jannah-Nya
kelak.
[Disarikan dari kitab At Ta’rif Bil
Imam Muslim Wa Kitabihi Ash
Shahih karya Syaikh Abdurrahman
bin Shalih As Sudais, dan artikel
dari Majalah Universitas Islam
Madinah yang berjudul Al Imam
Muslim Wa Shahihuhu, Syaikh
Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad,
dengan beberapa tambahan]
P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar